Senin, 08 Agustus 2011

CERPEN

FiKSI®
Cerpen Syarifuddin Fahmi ‘ainur ibrahim’ *(
SISWA KELAS 10 B MA NU TASWIQUT THULLAB SALAFIYYAH (TBS) KUDUS
*( Pegiat Sastra Al-Irsyad Jagalan 62 Kudus.  Beralamat di zf_policeline@ymail.com
®JUARA III CIPTA CERPEN SE-EKS KARESIDENAN PATI  ‘DIES NATALIS XIV STAIN KUDUS 1432 H’

Hari ini, cuaca kota kretek tak begitu panas seperti biasanya. Lemas lungai udara membalut tubuh Saiful. Penimba ilmu disebuah petak yang biasa disebut ‘Penjara Suci’. Ya, ditempat yang penuh keterbatasan itulah Saiful ditahan serta dituntut untuk menganak pinakkan ilmunya, juga untuk mandiri menghadapi masa depannya. Tidak! ketika pesantren begitu munafik untuk kehidupan Saiful yang syarat akan kemewahan. Memang, sedikit gambaran fatamorgana ada di pelipisnya. Mungkin karena Saiful harus mengiyakan keinginan Abah untuk melajukan dirinya ke pesantren silam. Tak ada jalan lain. Wajib!
Saiful Abdillah namanya. Kulit Sawo matang itu sempat brutal. Namun Toh kenyataannya Saiful mampu bertahan lebih dari dua puluh empat bulan. Sudah! Setelah Saiful mengenyam pendidikan di pesantren yang mengglegarkan Saiful dengan sapaan Santri.
***
Hari ini Saiful bangun lebih awal. Tak seperti biasanya. Mungkin karena kelas XI IPA 1 nya akan dipergunakan untuk ujian semester kakak kelas lusa. Menggelorakan amarah Saiful untuk sesegera mungkin mengemas beberapa helai pakaiannya. Meski belum genap satu bulan Saiful berdomisili seperti yang tertera pada peraturan pesantren,  namun kehendak Saiful sudah bulat untuk segera bergegas meninggalkan tempat yang penuh dengan bacaan ayat alqur'an pagi itu. Secepat mungkin. Sebelum lurah pondok mempergokinya. Sebelum kiamat semua hasratnya. Kuat argumennya bahwa pulang lebih baik daripada harus membrewoki kitab kuningnya. Saiful sudah muak dengan lesung pucat di peci putihnya. Cukup! ketika angkutan ungu menurunkan debar jantung Saiful di terminal kota. Tertinggallah sudah penjara suci dari benaknya. Sekarang Saiful si santri buki itu dapat berleha-leha meninggalkan kota yang sejatinya penuh oleh taburan beribu benih harapan dari Abah dan Umi. Tentunya  pada satu kota kecil yang telah  membesarkan banyak ulama besar. 'Kudus'.
Saiful bingung lontang-lantung ketika tak mendapati dompet abu-abu di saku kiri celananya. Remaja gaul itu makin shock ketika sadar bahwa MP4 Player kesayangannya telah berpidah tangan. Bukan karena lalai atau lupa menaruh MP4 playernya. Yang jelas Saiful begitu ceroboh membiarkan MP4 Playernya tetap hidup ketika terlelap. Penumpang bus jurusan Tegal di sekeliling bangku Saiful tak punya jawaban lain selain menggelengkan kepala, menandakan penumpang yang budiman itu tak tahu menahu tentang MP4 keemasan Saiful yang telah raib. “Huh...”
“Itu sudah biasa terjadi dik, adik saja yang tidak hati-hati” pak kondektur menimpal.
Bus masih tetap melaju. Semarang-Kendal-Pemalang Saiful lewati dengan harap-harap cemas. Entah Saiful harus menjawab apa ketika sampai di Tegal nanti. Jadi bingung lontang-lantung Saiful meracik majas jika membubuhi pertanyaan Abah nanti. Tak mungkin Saiful menimpalkan pada bangku-bangku kosong pada bus yang mulai bersih dari asap lintingan kretek itu.
***
Tepat ketika matahari hendak bersembunyi dibalik awan sore. Tepat ketika hentakkan adzan telah berlalu dengan iqomah si muadzin. Pemuda abad 21 itu mulai turun mengikuti satu-dua-tiga penumpang sebelumnya. Saiful berlalu, tanpa mengambil air wudlu dan sesegera mungkin menjalankan perintahNya. Saiful hiraukan saja lima waktu yang sudah menjadi kewajiban bagi muslim sepertinya. Lupa sudah ia akan jahannamNya. Mungkin setan telah benar-benar kencing di telinganya.
Seperti kata Abdullah Bin Mas’ud. Ada seorang pria mengisahkan kepada Rosulullah, tentang seorang yang tetap tidur dari malam hingga pagi. Rosulullah pun menanggapinya bahwa setan telah kencing di telinganya. Lebih parah! Karena saiful bukan pada posisi tertidur.
Dinding musholla yang bertuliskan “Tidakkkah engkau takut akan neraka Waill yang telah Allah persiapkan, jika engkau menyia-nyiakan shalat, menuruti hawa nafsu, ataukah takut jika duniamu meniggalkanmu dari pada Firdaus-Nya yang kekal......” tak menghipnotis Saiful sekalipun. “masa bodoh..” Langsung saja Saiful masuk ke sebuah angkutan kuning dan menyalakan api pada lintingan kretek, kemudian menjulurkannya ke mulut tipis Saiful. “hmm...”
Kembali lagi Saiful menapakkan kaki di kampung halaman. Setelah Saiful ulurkan beberapa lembar ribuan kepada kernet angkot. Kali kedua dalam sebulan terakhir. Ironis, Satu-dua wanita paruh baya mulai menanyakan kepulangannya. Namun Saiful hanya menjawab dengan senyuman kecut andalannya. Tak jauh beda seperti pada kali pertama. Tak pernah terlintas dalam benak Saiful tentang kesayogyaan yang selayaknya tidak dilakukan seorang santri. Oblong biru dan jeans pensil yang Saiful kenakan semakin membubuhi buah bibir para tetangga. Lupa sudah ia akan pecinya. Entahlah, Abah dan Umi pasti mengurut dada kali menyaksikan kenylenehan anaknya.
Belum sampai Saiful menggantungkan oblong birunya. Abah masuk ke kamar Saiful dengan tensi kemarahan yang kian merambah keubun-ubun. Meluap, dan turun deras ke punggung belakang Saiful. Tentunya melalui tangan seorang Petani yang makin merenta itu. Saiful linglung,
“apa yang sebenarnya terjadi; Kulo salah nopo???”
Satu angka Saiful menang ketika Abah menyudahi pukulannya. Tapi, angka kedua dan selanjutnya ada ditangan Abah. Berangkat dari diulurkannya sepucuk surat dengan kop berlafadz arab. Bukan surat hak milik ladang. Bukan pula surat dari notaris PPAT. Tak ada tanya. Saiful sudah mafhum bahwa itu adalah surat khas pesantren Darul Hikam tempat Saiful menimba ilmu. Lebih dari satu! Saiful tak menyangka pihak pesantren telah sebanyak itu melayangkan surat untuk Abah dan Umi. Tujuh lembar! Isinya tak jauh lebih parah dari beberapa pelanggaran Saiful di pesantern.
“opo seperti itu kelakuanmu nang!? cukup! Abah muak dengan semua surat ini…!”
Tak ada lagi iba yang menjulur dari raut wajah Abah sore itu. Hanya kecewa. Rasanya tak sebanding dengan apa yang telah Abah hibahkan untuk anak sulungnya itu. Umi juga tak sekali-dua kali mengurut dada. Tak tahan lagi wanita paruh baya itu menahan Abah agar menyudahi amarahnya. Sementara Saiful hanya menangis tertahan.
Saiful tak berkutik lihat ditekukkan oleh berbagai macam khilafnya; Tak sekalipun ia hadlir ke sekolah, apalagi berdomisili dipondok. Uang bulanan yang biasa diperuntukkan untuk pelunasan i’anah Syahriyah tak pernah sampai pada kassa keuangan. Berbagai macam tagihan sering Saiful umpat agar Abah tak tahu menahu perihal itu. Yang Saiful fikirkan hanyalah bersenang-senang. Menghamburkan uang demi kesenangan semata. Gonta-ganti MP4 Player, Ponsel dan Elektronika sesuka hatinya. Tanpa memperdulikan nasib Abah dan Umi yang mati-matian membanting tulang untuknya. Entah betapa teriris hati Abah dan Umi petang itu. Sulung yang sayogyanya menjadi contoh khasanah malah berbalik menjadi racun yang signifikan meracuni kedua adiknya.
Lanjut ketika alunan adzan magrib berkumandang. Saiful taburkan berbagai benih penyesalan dalam panjatan doa. Sepenuh hati Saiful bergegas dari lubang keterpurukan selama ini. Saiful cium tangan Abah dan Umi wujud taubat sejati seorang lelaki. Wangi, mengusir berbagai macam kemunafikan yang senantiasa menempel pada dinding hatinya.
“Sudah, nanti kwe hadir nang pengajian kyai Musthofa pemalang bar Isya’ nanti di langgar. Dengar dan camkan apa yang jadi tausyiah beliau...”
Saiful hanya menganggukan kepala. Saiful tersedu menahan tangisnya.
***
Adzan Isya mengalun begitu indah meriangkan jiwa Saiful yang terang akan hidayahNya. Hentakan iqomah seakan mengomando Saiful untuk merapatkan barisan dan sesegera mungkin bercakap denganNya. Sampai ketika Saiful menelunjukan jari telunjuknya dan mengecapkan salam. “Assalamu’alaikum warahmatullah”
Saiful duduk bersila disamping ratusan hadlirin pengajian kamis kliwon masjid Nurut Taqwa. Semua khidmat pada mauidloh kyai Musthofa. Seorang kyai masyhur Rujukan warga Tegal dan Pemalang. Saiful kenal betul dengan beliau. Apalagi putri semata wayangnya.  ‘Ilma Zidna Walyatalattavic’ Satu-satunya hawa yang berhasil memikat hatinya di batsul masail akbar tingkat kabupaten Pemalang pertengahan Februari silam. Saiful tak ragu untuk berhasrat dapat bersanding dengan putri kyai favorit Abah itu.
“hadlirin rohimakumullah, rodliya ankum! baraka lakum...!
Wahai saudaraku seiman! Apa kalian tidak ingat bahwa kelak akan ada hari yang lebih panas dan gawat dari hari ini...
Kenapa kita selalu saja berkeluh kesah untuk sekedar bercakap padaNya...
Apalagi untuk tidak hadir dalam dirosah...!
Tidakkah kesemua perkara yang kita lakukan karenaNya akan mendekatkan kita pada Surga...!
Tempat dimana kita akan hidup kekal abadi... Selamanya...! Selama-lamanya...!
Apa kalian lupa dengan hari ketika manusia digiring menuju padang Mahsyar? dengan matahari yang hanya satu jengkal di atas ubun-ubun kepala kita...

Kalau tidak ingat, bahwa keberadaan kalian untuk belajar adalah amanat! Dan amanat kelak akan dipertanggungjawabkan dengan pasti...!
Apalagi jika kalian sadar bahwasanya Ayah dan Ibu kalian mempertaruhkan petak sawah warisan moyang untuk keberhasilan kalian...!
Lupakah kalian ketika kalian ketika dilepas dengan linangan airmata dan selaksa doa dari ibu, ayah, dan sanak saudara...!
Maka ketahuilah bahwa tidak semua orang diberi nikmat belajar dibumi para nabi ini.
Camkan! bahwa masa muda yang sedang kalian jalani ini akan dipertanyakan kelak...!

Ceramah kyai Musthofa kian membahana, sementara Saiful semakin menunduk, air bening dari matanya terus mengalir, semakin deras. Sementara bayang-bayang tentang amarah duniawi tak mampu ia tangkis. Kepalanya dikelilingi bermacam asumsi yang mengalah dan membenarkannya;
 'Ayolah! Jangan dengarkan semua omong kosong ini wahai Saiful!'
'cukuplah engkau dengan nafsu duniamu!'
Rasanya Saiful ingin memecah kepalanya menjadi dua. Hingga usai sudah kedua pertanyaan yang mendewasakan akal sehat Saiful malam itu.
Belum sampai mauidloh kyai Musthofa ditutup dengan doa, lelaki tinggi muda berparas arab berkata lirih pada indera Saiful;
“Nak, Stroke Abah kambuh, sebaiknya kamu cepat pulang”
Suasana berbalik hening ketika Saiful tiba dengan nafasnya yang ngos-ngosan. Setelah Saiful tersentak dan menapakkan langkah seribunya. Setelah Saiful terburu-buru untuk sampai pada suasana ini; ketika Pak dhe Ali menggosokkan siwak ke mulut Abah. Saiful faham betul mengapa kesunahan itu dilakukan. Umi dan kedua adiknya menangis. Lanjut ketika Pak dhe Ali mengucapkan kalam tarji’.
“Inna Lillahi Waa Inna Ilaihi Roji’un”
Saiful makin tak kuasa membendung airmatnya. Bagaimana mungkin Saiful lalui hari kedepan tanpa tulang punggung keluarga. Tak mungkin wanita paruh baya yang sesegera mungkin akan dipanggil janda itu akan sendirian menghidupi ketiga anaknya. Tak mungkin pula jika Saiful Nayla dan Balya harus turun kejalan untuk menadahkan kaleng dan menggetarkan senar gitar. Mustahil!
***
Sekarang Abah sudah tenang dialam fana. Linangan air mata yang kian membatu memukuli kepedihan hati Saiful. Janda beranak tiga itu juga mulai bangkit dan mahir melanjutkan kinerja Abah. Saiful harus sadar bahwa air matanya disaksikan Nayla dan Balya. Umy selalu berpesan ‘untuk jadi anak yang baik dan sholih, Abah pasti bahagia melihat anaknya sukses’. Mutiara kata pengayom beribu penyesalan yang tertuang dalam hati Saiful kala mengenang khilafnya. Mengapa Saiful baru sadar ketika sudah tak bisa lagi bernaung dalam nasihat Abah. Mengapa??? Apakah ini satu dari sikap kemanusiawiahan?
Sudah! Saiful juga harus bangkit. Saiful harus memenuhi keinginan Abah yang sudah berjuang keras mengais rupiah untuknya. Saiful harus menjadi tauladan bagi Nayla dan Balya. Saiful harus menggantikan fase kepedihan ini dengan senyuman untuk perempuan yang mau tak mau harus menjadi kepala keluarga itu.
Sesudah Saiful kembai ke pesantren dengan linangan airmata. Sesudah Saiful mendapat ta’zir dari lurah dan keamanan pondok. Sesudah Saiful giat menjalani kehidupan sebagai seorang Santri. Sesudah namanya selalu disebutkan sebagai juara satu, dua atau ketiga dari berbagai macam lomba. Sesudah Saiful mendapatkan beasiswa ke Al-Azhar University Cairo  seperti yang diharapkan Abah.
Setelah Saiful berhasil mendapatkan plakat penghargaan santri terbaik dan bergelar Lc, Setelah saiful menjadi menantu Kyai Musthofa kiblatan Abah dan masyarakat Tegal Pemalang, dengan sekaligus meminang ‘Ilma Zidna Walyatalattavic’ hawa pertamanya. Setelah Saiful menjadi juragan pertanian dan berhasil membuang jauh-jauh nama janda beranak tiga itu menjadi Hj, Mufidah Asyiah. Dan semua ini Saiful Hadiahkan untuk mendiang Abah. Almarhum Ainur Rofiq Ibrahim.

Diselesaikan di 'bilik' kecil yang semoga bisa membesarkan nama-nama penghuninya. Amien
Pemalang,'Al-Hikmah' 25 Rabiul Ahir 1431 H
31 Maret       2011 M

============================================
Kekurangan Cerpen ini adalah pada Judul dan Flashback, keunggulan lebih nampak pada konflik dan diksi (MM. Boernomo, Widi Muryono; Juri Lomba Cerpen Dies Natalis STAIN Kudus ketika itu). Beberapa hadiah lomba saya gunakan untuk menyaksikan atmosfir dunia barat di Paragon.
============================================

2 komentar:

fahri mengatakan...

Cerita yang cukup menarik,

tapi kenapa nama tokoh utamanya Fahri Firdausillah, dan lagi latar belakangnya juga nggak jauh2 dari OSIS, pesantren, dan Kudus.
Jangan2 kamu kenal aku ya?

bondanpahme mengatakan...

saya ngga jarak mas.
tiba tiba dulu yang ada di pikiran saya itu ya alhamdulillah lancar :)
maafkan saya apabila tersinggung. hehe

oia, kebetulan saya santri PPRM