Add caption |
Cerpen Syarifuddin Fahmi ‘ainur ibrahim’ *)
*) Penulis berasal dari Surabaya, Lahir di Semarang, Beralamat di Demak dan berdomisili di zf_policeline@ymail.com
Fahri begitu terhina. Fahri layak mendapat rajam! -dilempari bebatuan hingga wajahnya memar-. Bukan tidak mungkin jika Fahri dipertontonkan di alun-alun kota Kediri karena tingkah bodohnya meniduri Layla, putra sulung kyai Asnawi Hamid. Sayang, Indonesia bukan negara Islam! Bukan satu kesalahan jika kejadian semacam ini terjadi berulang-ulang. “Segala kejadian harus diselesaikan melalui ranah hukum, meski hukum di negara ini begitu munafik!” Jelas kyai Hamid geram menyadari perihal ini.
Kalau bisa di ingat; Pagi itu tulang-tulang muda Fahri seperti dipukuli sebongkah kayu. Matanya sayup-sayup memandangi layar dua puluh inci itu. Memang, Kerjaan Fahri masih menumpuk. Proposal, macam-macam kepanitiaan dan berbagai macam program kerja belum terselesaikan dengan tuntas. Fahri telah kepalang janji dengan Pak Bambang. Tak mau ia mengecewakan orang yang selalu berdecak kagum dengan hasil tugas Fahri. Selain karena sepanjang sejarah, baru kali ini anak konglomerat menjabat sebagai ketua osis. Jarang-jarang, karena organisasi terlalu identik dengan kaum menengah kebawah.
Menit selanjutnya, Fahri segera bergegas membuka pintu rumah setelah mendengar beberapa kali suara ketukan. Suasana tegang berlanjut ketika tamu yang biasa disapa Layla itu masuk mendebarkan hati Fahri yang baru saja sadar akan mimpi manisnya. Sayogyanya, Layla hanya mengantar roti kering saja. namun karena lengkuk tubuh Layla yang begitu gamblang di indera Fahri, akhirnya Fahri pun tak segan-segan memboyong Layla ke kamar. Tanpa perlawanan! Hmm… mungkin Layla juga tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas bersama perjaka paling tampan di sekolah tingkat menengah atasnya itu.
Kiamat! Ayah Fahri datang dengan kemunduran instansi perusahaan tebunya. Jelas Ayah sedang sangat begitu kecewa. Ditambah lagi dengan tingkah laku sulung yang membuatnya kian kebakaran jenggot, sontak saja ayah langsung melancarkan berbagai pukulan ke tubuh Fahri. Orang tua mana yang tahan melihat anaknya melakukan dosa!
***
Detik-detik menjelma dari hari ke hari. Berbagai macam amarah menyelubung di palung kyai Hamid. Tentu saja kyai Hamid tak rela dengan hilangnya keprawanan anak sulungnya itu. Apalagi sosok kyai Hamid begitu dituakan di kota Kediri. Sungguh tak bisa di ungkapkan dengan kata-kata.
Fahri harus bertanggung jawab atas segala perbuatannya! Fahri tak boleh lari dari tanggungjawab! Meski jabatannya sebagai ketua osis kini telah jatuh. Fahri juga tak bisa lagi berseragam putih abu-abu. Fahri hanya dapat berkaca-kaca penyesalan memandangi piala hasil prestasinya dilemari kantor BK. Kini Fahri harus bergizi tinggi mencerna beribu-ribu cemooh dari rekan-rekan seperjuangannya.
Lebih dari dua pekan kejadian itu berjalan. Gosip miring yang biasa disuarakan para tetangga kini mulai dingin. Untung, Dr. Husna Munaya itu masih belum mengubah isu kehamilan Layla menjadi positif. Mungkin Layla belum saatnya mengandung di usianya yang masih dibilang belia. Meski secara biologis Layla sudah bisa berkepala dua.
Sekarang Fahri hanya bisa duduk rapi di rumah. Namun sungguh Fahri tak tahan dengan keadaan seperti ini karena Fahri tak punya jiwa-jiwa pengangguran! Fahri ingin sekali melajukan dirinya ke sebuah Pesantren di Jawa Tengah. Fahri berjanji akan tetap meminang Layla dikemudian hari. Fahri juga sadar bahwa kyai Hamid mempunyai pesantren yang cukup besar di kota Kediri. Mungkin inilah tantangan! Setidaknya Fahri harus mengerti apa itu syarat dan rukun untuk ditularkan pada sebagian santri. Cukup! ketika kyai Hamid mengiyakan hasrat mulia si bejat Fahri.
***
DI PESANTREN
Kota ini disebut; Kota Santri. Selain itu, dikota kecil ini juga dapat dijumpai berbagai macam bentuk peci, Mulai dari ujung barat sampai ujung timur bermacam khalayak ada di kota ini. Terlihat akrab, tanpa mengenal ras ataupun suku. Hebat! Mengapa kota lain di Indonesia tidak berkaca pada kota kecil ini? Dimana sekarang ras ataupun suku menjadi sebuah perbedaan dan perdebatan! Berbeda warna saja sudah berani mengahiri nyawa. “huh...” Ironis.
Sekarang Fahri sudah bisa melipat pakaiannya di Pesantren Darussalam. Fahri selalu patuh dan taat pada nasihat Kyai Saiful Ridlwan, pengasuh pesantrennya sekarang. Untung, kyai Saiful adalah sosok pemerhati para santrinya. Sehingga Fahri diangkat menjadi pengurus ndalem. Terlalu cepat memang, namun itu lebih baik daripada Fahri harus menahan kucilan dan cemohan para santri akibat khilafnya. Memang begitu kejam! namun beginilah konsekuensi.
Lambat laun kyai Saiful mulai akrab dengan Fahri. Bagaimana tidak? Riwayat hidup Fahri dari kecil saja sudah banyak diketahui oleh kyai Saiful. Tergolong beruntung bagi santri baru seperti Fahri Firdausillah, karena kyai Saiful juga mampu menjadi guru kehidupan baginya. Bukan kyai yang hanya menebar prioritas! Atau berdakwah saja demi rupiah! Fahri semakin yakin jika Pesantren bukanlah sarang teroris seperti yang tercetak tebal di beberapa media. “Justru Pesantren-lah tempat rehabilitasi bagi para teroris ulung macam mereka”
***
“kamu benar-benar ingin bertaubat kang?”
“inggih yai, sak-estu”
“kalau begitu ndang giat mengikuti pengajianku ya kang”
“inggih yai”
Prakata kiai Saiful kali pertama itu masih terniang jelas dikepala Fahri. Makanya, Fahri tak boleh melihat lelaki paruh baya itu kecewa. Fahri harus selalu datang lebih awal di tiap-tiap pengajian beliau. baik bandongan ataupun sorogan. Tekad Fahri untuk bertaubat sudah bulat! Fahri tak boleh goyah karena nafsu! Cukup sekali itu Fahri menjadi bulan-bulanan hasrat nafsu duniawinya.
Tepat ketika mega merah sudah mulai menampakkan dirinya. Pertanda bahwa adzan magrib sudah layak untuk dikumandangkan. Fahri pun tak segan-segan mengambil air wudlu dan sesegera mungkin bercakap-cakap padaNya. Lanjut ketika Fahri mengecapkan salam dan mengangkat kedua tangan. Ia munajatkan segala siratan hasrat dalam hatinya. Sebelum Fahri harus sesegera mungkin menutup doanya dengan bacaan ‘Amien’ karena kyai Saiful telah datang. Ribuan Santri juga sudah memadati masjid Al-Aqsha, untuk sekedar mengais ilmu dari sosok kyai rujukan warga kota kretek itu;
“Wahai saudaraku sekalian, Jangan sekalipun kalian mendekati zina ! sungguh, zina akan membawa kita kepada nerakaNya… memang, tiga godaan terbesar lelaki ada pada wanita, selain harta dan tahta. Kita sebagai umat muslim harus berjihad melawan hawa nafsu kita! Jihad tidak harus dengan pengeboman atau peperangan! Ketahuilah bahwa musuh terbesar manusia adalah hawa nafsu! Tidakkah engkau takut Akan neraka Waill yang telah Allah persiapkan jika engkau menyia-nyiakan shalat, menuruti hawa nafsu, atau takut jika duniamu meninggalkanmu daripada Firdaus-Nya yang kekal…?!”
Nasihat kyai Saiful begitu membahana, tercamkan erat di benak hadlirin pengajian rutin ba’da magrib ini. Termasuk Fahri, ia sering kali merasa tersinggung di tiap pengajian kyai Saiful. Terkadang Fahri juga tak malu meneteskan air matanya. Apalagi jika membicarakan tentang ibadah sholat. Memang, Fahri jarang melaksanakan ibadah sholat karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya didepan layar laptop, sekedar menyelesaikan bermacam tugas kepemimpinan, kesetiaan atau bermacam permohonan untuk organisasinya. Fahri terlalu mendewakan tugas Organisasi. Sayogyanya, sesibuk apapun tugas di organisasi itu masih penting dengan lima waktu yang menjadi kewajibannya. Fahri sadar bahwa dirinya telah salah! Maka dari itu Fahri senantiasa mengkalamkan istighfar padaNya, wujud pertaubatan pada Dzat yang maha pengasih lagi maha penyayang itu.
Sekarang Fahri sudah mulai sadar, Fahri harus malu pada kedua malaikat di kanan kirinya. Fahri harus malu karena perbuatan yang pertama kali di hisab di hari kiamat adalah shalat. Sekarang Fahri tahu bahwa darah orang yang dengan sengaja meninggalkan sholat adalah halal! Maka Fahri harus mengabarkan berita ini pada rekan-rekannya yang membutuhkan, dan kepada mereka; yang masih begitu awam akan perintah-perintah Islam.
***
Lebih dari tujuh tahun sudah Fahri mengabdikan dirinya di ndalem. Sungguh jumuah pagi yang cerah ketika kyai Saiful mengiyakan hasrat Fahri untuk pulang ke kegubug Ayah dan Ibunya ke kota Kediri. Karena kata kyai Saiful; Fahri sudah cukup mengerti dan mendalami apa itu syarat dan rukun. Fahri juga sudah cukup usia untuk meminang Layla. Hawa yang mau tak mau harus menjadi istri bagi si pendiam Fahri Firdausillah itu.
“cukup nak, sekarang pulanglah dan pinang Layla untuk masa depanmu” dawuh kyai Saiful melepas Santri kesayangannya.
***
Fahri datang kembali di kota Kediri. Kota yang mulai berevolusi. Tak seperti biasanya, kota ini nampak layu, para santriwan-santriwati juga sudah mulai kehilangan jati dirinya. Entah dikemanakan peci dan jilbab putih mereka? Fahri jadi makin kebingungan sendiri memahami perihal ini. Mungkin karena kemajuan zamanlah penyebabnya! Budaya barat sudah mengobok-obok naluri keislamiyahan kota kelahirannya. Tak rela! Fahri harus bisa mengembalikan adab pemuda-pemudi Kediri! Bahkan menyebar ke kota-kota tetangga. Wajib! Tidak bisa tidak!
Sebulan lagi pesta pernikahan Fahri dan Layla dihelat. Ribuan undangan telah tersebar di berbagai kota. Hari bahagia itu tinggal menghitung hari. Namun tidak! Kenyataan berkata lain, kematian terlebih dahulu merenggut nyawa Layla akibat kecelakaan kereta api di perbatasan Nganjuk. Ketika Layla dan Fahri hendak memprogram baju pernikahan mereka di kota Madiun. Untung nyawa Fahri masih dapat terselamatkan. Meskipun tidak bagi Layla, calon pendamping hidupnya itu. Layla harus sesegera mungkin dikebumikan di samping maqbaroh Abahnya, kyai Asnawi Hamid al-Manshur.
Fahri begitu terpukul atas kejadian itu. Kelopak mata Fahri juga mulai menghitam. Air matanya tak kunjung reda. Namun Fahri sadar, ia bukan anak kecil lagi! Fahri harus secepat mungkin bangkit dari puing fase kesedihannya. Fahri harus tetap menikah di tanggal dan bulan yang sama, seperti yang diharapkan keluarga mempelai wanita. Meski tidak dengan Layla Asna. Melainkan dengan Nayla Asna, Putri ketiga dari mendiang kyai Asnawi Hamid. Benar! Qodlo' dan Qodar tak pernah bohong! Jika tanggal dan bulan pernikahan sudah ditentukan olehNya, maka tak ada yang bisa mengubah atau menggantikannya! Begitupun selainnya. Tidak sempurna iman kita jika kita tidak mengamini perihal ini.
Kini Fahri sudah harus bertanggung jawab dengan para santri mendiang kyai Hamid. Pengalamannya di pesantren Darussalam tak pernah ia lupakan. Fahri harus bisa mendidik para santrinya seperti kyai Saiful Ridlwan mendidiknya. Bukan sekedar prioritas! Atau karena nafsu duniawi, harta dan tahta! Fahri harus bisa mewujudkan cita-citanya memperbaiki budi pekerti para muda-mudi yang kini kian menjadi-jadi! Fahri harus bisa mengembalikan aset-aset islami ke kota kelahirannya, juga pada tanah airnya.
Setelah Fahri berhasil memajukan Pesantren “Al-Hikmah” peninggalan kyai Asnawi Hamid. Setelah Fahri percaya bahwa tuhan mengabulkan doanya untuk masih tetap berada dijalanNya. Maka tidak ada keraguan jika kita mau bertaubat dijalanNya. Tentunya taubat yang sungguh-sungguh. Dan aku menyebutnya Taubat An-Nasuha.
Kini, diawali dengan bacaan Basmillah, kyai Fahri Firdausillah harus bisa memperbaiki gejolak moral muda-mudi di tanah kelahirannya.
Kediri, 24 April 2011 M
Diselesaikan Dengan Beribu ‘nikmat’ Dan ‘penyesalan’
=====================================================
BIODATA PENULIS
Syarifuddin Fahmi, Lahir di Demak, 25 Desember 1994 M. Peraih Best of 3rd “FiKSI” Cipta Cerpen se eks Karesidenan Pati pekan Dies Natalis STAIN Kudus. Menyelesaikan “Dosa Terkemuka” nya di Stasiun Kediri, bertepatan ketika Persija Tour Malang bersama rekan Jak Mania. Dan selalu ingin selamanya menjadi pegiat sastra.
=====================================================
*Karya ini di muat di Majalah Tahunan "Ath-Thullab Edisi 15 Madrasah NU TBS, persebaranya kini mecapai tingkat nasional. Namun sayangnya, apa yang tercetak di majalah tersebut berubah dari karya ini.
Semoga Allah senantiasa memberi saya petunjuk :)
1 komentar:
sayang, makasi buat semua. aku saynag kamu :)
Posting Komentar