Kamis, 05 Januari 2012

Kudus dan Keaneka Ragamanya

GUS-JI-GANG
TRADISI KOTA KUDUS YANG JARANG DIKETAHUI
Oleh : Ibn Ainur Rofiq Ibrahim *(

Berawal dari setiap kali bulan suci Ramadhan datang menjelang, tentu umat Islam (Khususnya Kudus dan sekitarnya) menyambut dengan suka cita. Bukan sebuah hal yang asing jika momentum kehadiran bulan Ramadhan itu menjadi sesuatu yang istimewa dan fenomenal bagi masyarakat pada umumnya. Di kota kretek, --sebutan bagi kota Kudus-- tradisi tersebut populer dengan sebutan Dhandhangan, Sedangkan pencetusnya adalah Syekh Ja’far Shodiq (Sunan Kudus) yang konon ahli dalam bidang ilmu Falak atau Astronomi.
Tradisi tersebut bermula dari antusiasme masyarakat mendengarkan pengumuman dari sesepuh masjid Menara Kudus (baca; Syekh Ja’far Shodiq) mengenai kapan dimulainya hari pertama puasa. Pengumuman tersebut diawali dengan pemukulan beduk yang berbunyi dhang-dhang-dhang yang kemudian memunculkan kata Dhang-Dhangan, sehingga kebiasaan tersebut dikenal dengan tradisi Dhandangan.
Uniknya, salah satu fenomena budaya bagi masyarakat Kudus dalam tradisi Dhandangan juga menjadikan momentum ini sebagai ajang silaturrahmi antar sanak saudara. Bahkan tak jarang momentum Dhandangan juga menjadi media ta’aruf agar orang tua yang memiliki anak putri segera menemukan jodohnya, sebut saja “pemuda ideal”. Hal ini banyak terjadi di daerah Kudus Kulon dan bahkan sampai sekarang masih mentradisi secara absolut.
Bagi masyarakat Kudus, terutama di lingkungan Kudus Kulon, yang dimaksud pemuda ideal harus memiliki minimal 3 (tiga) karakter populer yang kemudian di tandai dalam akronim “Gus-Ji-Gang”. Yakni Bagus akhlaknya, Pintar mengaji, dan trampil berdagang. Ketiga karakter “pemuda ideal” tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
Pertama, “Gus” bermakna bagus atau ganteng. Kegantengan ini bukanlah sekedar fisik belaka, tapi juga ganteng secara kepribadiannya (inner beauty). Aspek moral sangat ditonjolkan bagi masyarakat Kudus, Dalam kaitan ini biasanya dengan memperhatikan  nasab, pendidikan dan pergaulan. Salah, jika dalam pencaharian sosok seorang suami tidak memperhatikan lebih dalam hal ini. Pasalnya, penentuan sosok seorang suami pilihan akan menentukan arah kekeluargaan pasangan dalam menjalani masa-masa selanjutnya.
Kedua adalah “Ji” yang dirujuk dari kata; pintar mengaji atau lebih akrab dengan sebutan santri. Hal ini menjadi prioritas penting karena karakter santri tentu sebagai dasar bagi calon pemimpin rumah tangga yang berorientasi ketaatan pada syariat agama Islam. Karakter ini biasanya diidentifikasikan dengan melihat latar belakang pendidikan. Mereka lebih memprioritaskan santri yang memiliki pendidikan berbasis agama daripada umum. Maka santri jebolan pesantren jauh akan lebih memiliki kedudukan terhormat ketimbang selainya.
Hal ini juga tak lepas dari hirarki sosial masyarakat Kudus (terutama Kudus Kulon) yang menempatkan kyai pada posisi tertinggi dalam pendidikan. Bahkan kyai tak sekedar sebagai sumber keilmuan Islam saja, tetapi juga sebagai tempat berguru dalam segala persoalan yang terkait dengan masalah individu, keluarga maupun sosial kemasyarakatan, sehingga terbangun sebuah hubungan patron-clien (suri tauladan) yang menonjol dalam diri seorang kyai. Kondisi ini diperkuat dengan karakter masyarakat Kudus Kulon yang paternalistic atau politik ke-bapak-an yang merujuk kepada sosok seorang kyai yang benar-benar di tua-kan. Dalam posisi inilah santri yang pintar menjadi incaran gadis atau orang tua yang memiliki anak gadis yang siap dinikahkan. Karena istilah santri tentu erat kaitanya dengan cikal bakal seorang kyai.
Ketiga, “Gang” atau lincah berdagang, belum lengkap  rasanya menjadi warga Kudus kalau tidak mampu berdagang. Ketrampilan berdagang ditonjolkan karena kegiatan ini tidak lepas dari opsi pilihan mata pencharian yang lebih menjunjung tinggi profesi sebagai pedagang. Karena semangat dagangnya didasari dengan nilai-nilai Islam, maka profesi dagang yang di inginkan adalah pedagang yang shiddiq (jujur) sebagaimana Sunan Kudus dan Nabi Muhammad SAW juga seorang saudagar.
Dari sini kita dapat mengambil sebuah intisari agar dalam keseharian kita ternutrisari oleh tradisi dan budaya-budaya Islam di sekitar kita. Banyak pelbagai hal unik yang belum kita ketahui dan kita identifikasi satu kesatuanya. Contoh kecil adalah “Gus-Ji-Gang” yang notabene merupakan pempribumisasian Sunan Kudus yang begitu syarat akan makna yang tiada terduga, dalam menentukan jodoh saja kita di arahkan untuk merujuk kepada pedoman dan tidak asal-asalan. Sehingga diharapkan membentuk karakteristik keluarga sakinah, mawaddah waa rahmah, dan terbingkai dalam bigron keluarga yang ‘selamat’ dunia dan akhiratnya. Semoga bahasan kali ini dapat mendewasakan pembacanya. Amien…

 *( Penulis Adalah Peneliti ‘Sosial’ di Jagalan 62 Kudus

================================================
Sumber : Jejak Perjuangan Sunan Kudus, (BMU 2011)
Bahasan ini juga di benarkan oleh juru kunci Sunan Kudus, Bpk. Denny Nur Hakim usai wawancara di kantor YM3SK bersama redaksi el_Insyaet Madrasah NU TBS Kudus
================================================

Tidak ada komentar: