GUS-JI-GANG
TRADISI KOTA KUDUS YANG JARANG DIKETAHUI
Oleh : Ibn Ainur Rofiq Ibrahim *(
Berawal dari setiap kali bulan suci Ramadhan datang menjelang, tentu umat Islam (Khususnya Kudus dan sekitarnya) menyambut dengan suka cita. Bukan sebuah hal yang asing jika momentum kehadiran bulan Ramadhan itu menjadi sesuatu yang istimewa dan fenomenal bagi masyarakat pada umumnya. Di kota kretek, --sebutan bagi kota Kudus-- tradisi tersebut populer dengan sebutan Dhandhangan, Sedangkan pencetusnya adalah Syekh Ja’far Shodiq (Sunan Kudus) yang konon ahli dalam bidang ilmu Falak atau Astronomi.
Tradisi tersebut bermula dari antusiasme masyarakat mendengarkan pengumuman dari sesepuh masjid Menara Kudus (baca; Syekh Ja’far Shodiq) mengenai kapan dimulainya hari pertama puasa. Pengumuman tersebut diawali dengan pemukulan beduk yang berbunyi dhang-dhang-dhang yang kemudian memunculkan kata Dhang-Dhangan, sehingga kebiasaan tersebut dikenal dengan tradisi Dhandangan.
Uniknya, salah satu fenomena budaya bagi masyarakat Kudus dalam tradisi Dhandangan juga menjadikan momentum ini sebagai ajang silaturrahmi antar sanak saudara. Bahkan tak jarang momentum Dhandangan juga menjadi media ta’aruf agar orang tua yang memiliki anak putri segera menemukan jodohnya, sebut saja “pemuda ideal”. Hal ini banyak terjadi di daerah Kudus Kulon dan bahkan sampai sekarang masih mentradisi secara absolut.
Bagi masyarakat Kudus, terutama di lingkungan Kudus Kulon, yang dimaksud pemuda ideal harus memiliki minimal 3 (tiga) karakter populer yang kemudian di tandai dalam akronim “Gus-Ji-Gang”. Yakni Bagus akhlaknya, Pintar mengaji, dan trampil berdagang. Ketiga karakter “pemuda ideal” tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
Pertama, “Gus” bermakna bagus atau ganteng. Kegantengan ini bukanlah sekedar fisik belaka, tapi juga ganteng secara kepribadiannya (inner beauty). Aspek moral sangat ditonjolkan bagi masyarakat Kudus, Dalam kaitan ini biasanya dengan memperhatikan nasab, pendidikan dan pergaulan. Salah, jika dalam pencaharian sosok seorang suami tidak memperhatikan lebih dalam hal ini. Pasalnya, penentuan sosok seorang suami pilihan akan menentukan arah kekeluargaan pasangan dalam menjalani masa-masa selanjutnya.
Kedua adalah “Ji” yang dirujuk dari kata; pintar mengaji atau lebih akrab dengan sebutan santri. Hal ini menjadi prioritas penting karena karakter santri tentu sebagai dasar bagi calon pemimpin rumah tangga yang berorientasi ketaatan pada syariat agama Islam. Karakter ini biasanya diidentifikasikan dengan melihat latar belakang pendidikan. Mereka lebih memprioritaskan santri yang memiliki pendidikan berbasis agama daripada umum. Maka santri jebolan pesantren jauh akan lebih memiliki kedudukan terhormat ketimbang selainya.
Hal ini juga tak lepas dari hirarki sosial masyarakat Kudus (terutama Kudus Kulon) yang menempatkan kyai pada posisi tertinggi dalam pendidikan. Bahkan kyai tak sekedar sebagai sumber keilmuan Islam saja, tetapi juga sebagai tempat berguru dalam segala persoalan yang terkait dengan masalah individu, keluarga maupun sosial kemasyarakatan, sehingga terbangun sebuah hubungan patron-clien (suri tauladan) yang menonjol dalam diri seorang kyai. Kondisi ini diperkuat dengan karakter masyarakat Kudus Kulon yang paternalistic atau politik ke-bapak-an yang merujuk kepada sosok seorang kyai yang benar-benar di tua-kan. Dalam posisi inilah santri yang pintar menjadi incaran gadis atau orang tua yang memiliki anak gadis yang siap dinikahkan. Karena istilah santri tentu erat kaitanya dengan cikal bakal seorang kyai.
Ketiga, “Gang” atau lincah berdagang, belum lengkap rasanya menjadi warga Kudus kalau tidak mampu berdagang. Ketrampilan berdagang ditonjolkan karena kegiatan ini tidak lepas dari opsi pilihan mata pencharian yang lebih menjunjung tinggi profesi sebagai pedagang. Karena semangat dagangnya didasari dengan nilai-nilai Islam, maka profesi dagang yang di inginkan adalah pedagang yang shiddiq (jujur) sebagaimana Sunan Kudus dan Nabi Muhammad SAW juga seorang saudagar.
Dari sini kita dapat mengambil sebuah intisari agar dalam keseharian kita ternutrisari oleh tradisi dan budaya-budaya Islam di sekitar kita. Banyak pelbagai hal unik yang belum kita ketahui dan kita identifikasi satu kesatuanya. Contoh kecil adalah “Gus-Ji-Gang” yang notabene merupakan pempribumisasian Sunan Kudus yang begitu syarat akan makna yang tiada terduga, dalam menentukan jodoh saja kita di arahkan untuk merujuk kepada pedoman dan tidak asal-asalan. Sehingga diharapkan membentuk karakteristik keluarga sakinah, mawaddah waa rahmah, dan terbingkai dalam bigron keluarga yang ‘selamat’ dunia dan akhiratnya. Semoga bahasan kali ini dapat mendewasakan pembacanya. Amien…
*( Penulis Adalah Peneliti ‘Sosial’ di Jagalan 62 Kudus
================================================
Sumber : Jejak Perjuangan Sunan Kudus, (BMU 2011)
Bahasan ini juga di benarkan oleh juru kunci Sunan Kudus, Bpk. Denny Nur Hakim usai wawancara di kantor YM3SK bersama redaksi el_Insyaet Madrasah NU TBS Kudus
================================================
jurnalistik, sosial
Kamis, 05 Januari 2012
CERPEN Edisi 45 B
Si PENGEMBALA
Cerita Fiksi ‘ainur ibrahim’ XI IPA I *(
*di muat di bulettin el-Insyaet Madrasah NU TBS Kudus dengan halaman yang pas!
Dia saudaraku, juga sahabatku. Ketika usianya menjelang aqil baligh, nama Bondan lebih mashur daripada nama kecilnya; Salman Ibrahim. Tidak! Karena tepat pada tahun kelima setelahnya, nama Bondan hanya bisa dikenang. Sedang nama Salman Ibrahim lah yang harus dituliskan dalam nisan. Wajib! Tidak bisa tidak!
Dewasa itu, aku dan Salman bagai sepasang anak turun adam yang memadu kasih. Hanya aku dan Salman. Para Pakdhe dan Budhe sibuk mengurus nafsu duniawinya. Tak terkecuali dengan keluargaku. Aku tahu, jika tanpa uang mereka tak bisa menyuapkan nasi pada kami -anaknya, tapi aku yakin mereka lebih tahu jika anak juga butuh perhatian lebih dari mereka. Ku kira itu lebih baik di zaman ini, daripada orang seperti aku dan Salman salah pergaulan.
Benar! Sore itu, aku melihat Salman terbirit-birit mengepal separuh dari bagian bawah kaosnya. Lembaran rupiah bergambar Sultan Mahmud Badaruddin terserak di lantai ketika aku tanya “Sedang apa kau disini?” Salman gugup dan terbata-bata mengucapkan kata. Aku tak butuh jawabnya karena aku sudah tahu jawabanya, tapi “untuk apa uang sebanyak itu?” Salman tak menjawab, secepat mungkin ia menata rupiah hasil jarahannya dan berlalu meninggalkanku.
Namun Kiamat! Ayahnya terlebih dahulu memanggil Salman dengan raut muka yang tegas. Dihadapanku, Lelaki pensiunan AKABRI itu menyodorkan lima lembar ribuan dan segera menggelorakan Salman untuk membeli obat sakit gigi. Ku lihat muka Salman seperti baru saja bebas dari Neraka. “huhmmm..” Aku sengaja tak berprakata. Aku hanya tersenyum kecil melihatnya.
***
“Kau Munafik! Kau bilang padaku jika mencuri itu dosa! Jika mencuri akan mencicipi Neraka, namun mengapa kau melakukannya...? apa kau sudah cukup tabungan surga? Hm? Apalagi itu duit orang tuamu mas! Belum lagi jika Ayahmu tahu, matilah kau! Ingat mas, ingat! Aku tak peduli jika kamu menjawab “karena terpaksa!” Otakmu sudah disetir dajjal! Sikap manusiamu terlalu mendewa-dewakan harta! Kau telah masuk ke surga dajjal mas! Ingat, surga dajjal adalah neraka bagi kita mas! Ingat!”
Sudah! Tak ada gunanya aku menasihatinya, dia lebih tua dariku. Seharusnya dia lebih tau! Aku juga yakin dia mengerti apa itu hadd syariq, -hukum dipotong tangan bagi seorang muslim ketika mencuri- memang, manusia jika dibiarkan akan semakin menjadi-jadi. Maka hadd semacam itu pantas untuk di tata tertibkan! Sayang, indonesia bukan negara islam. Segala sesuatunya harus diselesaikan melalui ranah hukum, meski hukum di negara ini begitu Munafik!
***
Dua-Tiga minggu berselang, aku baru datang ke rumah Salman bersamaan dengan mobil ambulan yang mengantarkan jenazah Kakek. Semua khidmat, tak satupun berani tertawa terbahak karena Kakek begitu dituakan di kampung Salman. Lanjut, ketika baiat talqin usai di ucapkan kyai Manshur; aku mengurut dada karena Salman tak kunjung datang. Kabar dari pakdhe mengatakan “bahwa Salman sudah empat hari tak dirumah semenjak memaksa Pakdhe membeli Suzuki Satria” padahal aku yakin, bahwasanya Salman belum begitu lihai menetralkan kompling motor prakarsa China itu. Aku harus bagaimana?
Tiga-Empat hari aku cari kabar tentang Salman. Benar dugaan kalau Salman ada di bawah pimpinan Suryo; preman pasar yang selalu membuat onar. Baiknya, Salman bukan terjerumus sebagai preman pasar, melainkan sebagai pembalap liar. Walaupun Liar, namun aku patut tersenyum, karena memang sejak kecil Salman mengidolakan Valentino Rossi. Tapi jalan umum bukanlah tempat bagi pembakat mesin, semua ada caranya! Semua ada tempatnya! Dzalim, jika tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya!
Selanjutnya, Lima-Enam hari sekali Salman pulang untuk sekedar mengantungi Tujuh-Delapan grendel rupiah bergambar Gedung Dewan Perwakilan Rakyat. “wow,.,” Ironis, berbelas kasihankah Salman pada orang tuanya; yang seharian membanting tulang untuknya?
“ini sungguh kelewatan...! Apalah arti harta melimpah, jika anak kami berperilaku tak jauh seperti malin kundang Pak yai?” mata pakdhe berkaca-kaca. Namun Kyai Manshur hanya mengangguk tak berkata. Dalam hati aku bertanya “Sudahkah anda mendidik anak anda dengan benar?”
***
Aku ingat apa pesan Kakek sebelum wafat; “jika kalian baik, maka kalian akan dibalas dengan kebaikan. Jika kalian patuh, maka kalian akan dipatuhi. Jika kalian tidak menyusahkan, makan kalian akan banyak mendapat kemudahan. Hafalkan! Kamaa Tadinuu Tudanuu. Man Khodama Khudima. Camkan itu!” Kakek menunjuk-nunjuk aku dan Salman ketika itu. Aku percaya, mungkin semua ini tak jauh dari sumbernya. Bukan aku memvonis! Namun kata pepatah juga jelas, “Daun Jatuh, Tak Jauh dari Pohonnya” Yah, begitulah.
Kusulut lintingan tembakau untuk kali kedua, nampaknya kambing-kambingku sudah cukup kenyang. Aku tahu, Waktuku pulang sudah tiba...
Diselesaikan Dengan Berbagai ‘kenangan’ Dan ‘perhatian’
Surabaya, 2 Juli 2011 M
===========================================
*( Penulis Adalah Anggota Komunitas matapena Jogja
. Lahir di ‘Panti’wilasa, Beralamat di bondanpahme@gmail.com
===========================================
Cerita Fiksi ‘ainur ibrahim’ XI IPA I *(
*di muat di bulettin el-Insyaet Madrasah NU TBS Kudus dengan halaman yang pas!
Dia saudaraku, juga sahabatku. Ketika usianya menjelang aqil baligh, nama Bondan lebih mashur daripada nama kecilnya; Salman Ibrahim. Tidak! Karena tepat pada tahun kelima setelahnya, nama Bondan hanya bisa dikenang. Sedang nama Salman Ibrahim lah yang harus dituliskan dalam nisan. Wajib! Tidak bisa tidak!
Dewasa itu, aku dan Salman bagai sepasang anak turun adam yang memadu kasih. Hanya aku dan Salman. Para Pakdhe dan Budhe sibuk mengurus nafsu duniawinya. Tak terkecuali dengan keluargaku. Aku tahu, jika tanpa uang mereka tak bisa menyuapkan nasi pada kami -anaknya, tapi aku yakin mereka lebih tahu jika anak juga butuh perhatian lebih dari mereka. Ku kira itu lebih baik di zaman ini, daripada orang seperti aku dan Salman salah pergaulan.
Benar! Sore itu, aku melihat Salman terbirit-birit mengepal separuh dari bagian bawah kaosnya. Lembaran rupiah bergambar Sultan Mahmud Badaruddin terserak di lantai ketika aku tanya “Sedang apa kau disini?” Salman gugup dan terbata-bata mengucapkan kata. Aku tak butuh jawabnya karena aku sudah tahu jawabanya, tapi “untuk apa uang sebanyak itu?” Salman tak menjawab, secepat mungkin ia menata rupiah hasil jarahannya dan berlalu meninggalkanku.
Namun Kiamat! Ayahnya terlebih dahulu memanggil Salman dengan raut muka yang tegas. Dihadapanku, Lelaki pensiunan AKABRI itu menyodorkan lima lembar ribuan dan segera menggelorakan Salman untuk membeli obat sakit gigi. Ku lihat muka Salman seperti baru saja bebas dari Neraka. “huhmmm..” Aku sengaja tak berprakata. Aku hanya tersenyum kecil melihatnya.
***
“Kau Munafik! Kau bilang padaku jika mencuri itu dosa! Jika mencuri akan mencicipi Neraka, namun mengapa kau melakukannya...? apa kau sudah cukup tabungan surga? Hm? Apalagi itu duit orang tuamu mas! Belum lagi jika Ayahmu tahu, matilah kau! Ingat mas, ingat! Aku tak peduli jika kamu menjawab “karena terpaksa!” Otakmu sudah disetir dajjal! Sikap manusiamu terlalu mendewa-dewakan harta! Kau telah masuk ke surga dajjal mas! Ingat, surga dajjal adalah neraka bagi kita mas! Ingat!”
Sudah! Tak ada gunanya aku menasihatinya, dia lebih tua dariku. Seharusnya dia lebih tau! Aku juga yakin dia mengerti apa itu hadd syariq, -hukum dipotong tangan bagi seorang muslim ketika mencuri- memang, manusia jika dibiarkan akan semakin menjadi-jadi. Maka hadd semacam itu pantas untuk di tata tertibkan! Sayang, indonesia bukan negara islam. Segala sesuatunya harus diselesaikan melalui ranah hukum, meski hukum di negara ini begitu Munafik!
***
Dua-Tiga minggu berselang, aku baru datang ke rumah Salman bersamaan dengan mobil ambulan yang mengantarkan jenazah Kakek. Semua khidmat, tak satupun berani tertawa terbahak karena Kakek begitu dituakan di kampung Salman. Lanjut, ketika baiat talqin usai di ucapkan kyai Manshur; aku mengurut dada karena Salman tak kunjung datang. Kabar dari pakdhe mengatakan “bahwa Salman sudah empat hari tak dirumah semenjak memaksa Pakdhe membeli Suzuki Satria” padahal aku yakin, bahwasanya Salman belum begitu lihai menetralkan kompling motor prakarsa China itu. Aku harus bagaimana?
Tiga-Empat hari aku cari kabar tentang Salman. Benar dugaan kalau Salman ada di bawah pimpinan Suryo; preman pasar yang selalu membuat onar. Baiknya, Salman bukan terjerumus sebagai preman pasar, melainkan sebagai pembalap liar. Walaupun Liar, namun aku patut tersenyum, karena memang sejak kecil Salman mengidolakan Valentino Rossi. Tapi jalan umum bukanlah tempat bagi pembakat mesin, semua ada caranya! Semua ada tempatnya! Dzalim, jika tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya!
Selanjutnya, Lima-Enam hari sekali Salman pulang untuk sekedar mengantungi Tujuh-Delapan grendel rupiah bergambar Gedung Dewan Perwakilan Rakyat. “wow,.,” Ironis, berbelas kasihankah Salman pada orang tuanya; yang seharian membanting tulang untuknya?
“ini sungguh kelewatan...! Apalah arti harta melimpah, jika anak kami berperilaku tak jauh seperti malin kundang Pak yai?” mata pakdhe berkaca-kaca. Namun Kyai Manshur hanya mengangguk tak berkata. Dalam hati aku bertanya “Sudahkah anda mendidik anak anda dengan benar?”
***
Aku ingat apa pesan Kakek sebelum wafat; “jika kalian baik, maka kalian akan dibalas dengan kebaikan. Jika kalian patuh, maka kalian akan dipatuhi. Jika kalian tidak menyusahkan, makan kalian akan banyak mendapat kemudahan. Hafalkan! Kamaa Tadinuu Tudanuu. Man Khodama Khudima. Camkan itu!” Kakek menunjuk-nunjuk aku dan Salman ketika itu. Aku percaya, mungkin semua ini tak jauh dari sumbernya. Bukan aku memvonis! Namun kata pepatah juga jelas, “Daun Jatuh, Tak Jauh dari Pohonnya” Yah, begitulah.
Kusulut lintingan tembakau untuk kali kedua, nampaknya kambing-kambingku sudah cukup kenyang. Aku tahu, Waktuku pulang sudah tiba...
Diselesaikan Dengan Berbagai ‘kenangan’ Dan ‘perhatian’
Surabaya, 2 Juli 2011 M
===========================================
*( Penulis Adalah Anggota Komunitas matapena Jogja
. Lahir di ‘Panti’wilasa, Beralamat di bondanpahme@gmail.com
===========================================
Teenage Conflict at Insyaet Edisi 45 B
Mutiara Kata Orang Jawa
Oleh : Syarifuddin ‘ainur ibrahim’ *)
*Di terbitkan di bulettin el-insyaet Madrasah NU TBS Kudus edisi Dzul Hijjah.
Tradisi jawa merupakan sesuatu yang unik dan diantaranya memiliki makna Islami yang padat bila kita cermati satu persatu. Namun kini sudah tidak bisa di pungkiri, bahwa disposisi warisan nenek moyang tersebut kian luntur di terpa arus globalisasi yang kian membahana. Padahal, secara realita kata-kata nenek moyang kita sering kali aktual, tajam dan terpercaya jika di jadikan refrensi. Bisa juga diyakini, bahwa ke afsahanya tidak kalah dengan mutiara kata dari para ilmuan barat.
Seperti contoh “Mikul Dhuwur, Mendhem Jero”. Pribahasa tersebut adalah bagian dari filosofi jawa yang berkaitan tentang nasihat kepada anak untuk memperlakukan orang yang lebih tua secara baik. Hal ini biasa di sebut juga dengan andhap ashor yang kaitanya juga relevan dengan Akhlakul Karimah. Dalam agama islam, --utamanya masyarakat jawa-- pelajaran tentang budi pekerti tentu menjadi hal yang harus ditekankan. Bahkan muncul sebuah makalah bahwa orang yang tidak memiliki adab di ibaratkan seperti lalat. Jika terapkan dalam konteks arab yakni :
Mikhul dhuwur berarti ‘menjunjung tinggi’ sebagai lambang penghargaan kepada orang tua yang dihormati atau di tuakan karena telah berjasa banyak dalam kehidupan. Sedangkan Mendhem Jero berarti menanam dalam-dalam penghormatan kepada orang yang dihormati sebagai modal bahwasanya kelak perbuatan kita akan dibalas, merujuk kepada makalah yang di jelaskan bahwasanya “Barang siapa yan melayani, maka dia akan dilayani” maka bersiaplah untuk Mikul Dhuwur, Mendhem Jero sejak dini.
Pentasrifan kata ‘anak’ disini bisa bersifat simbolik, yakni anak keturunan, generasi muda atau seorang bawahan. Sedangkan kata orang yang lebih tua dapat dimaknai sebagai orang tua dalam hubungan keluarga, orang yang lebih tua, pemimpin atau bahkan kepada ulama’ atau wali Allah. Oleh karenanya, generasi muda berkewajiban mikhul dhuwur mendhem jero dengan harapan kelak martabat dan identitas bangsa kita sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Tanpa kita sadari, terkadang sesuatu yang kecil adalah syarat untuk menjadi besar. Maka sirit tersebut merupakan fondasi untuk membangun nilai-nilai yang harus di perjuangkan sekaligus menjadi karakter dalam membangun kebesaran dan kehormatan bangsa Indonesia. Dengan beragam rujukan mutiara kata nenek moyang kita, pelajari lebih dalam dan yakinlah bahwa kita pasti bisa.
=================================================
*) Penulis Adalah Pelancong Makna Gandul di Kecamatan Kota Kudus.
=================================================
Oleh : Syarifuddin ‘ainur ibrahim’ *)
*Di terbitkan di bulettin el-insyaet Madrasah NU TBS Kudus edisi Dzul Hijjah.
Tradisi jawa merupakan sesuatu yang unik dan diantaranya memiliki makna Islami yang padat bila kita cermati satu persatu. Namun kini sudah tidak bisa di pungkiri, bahwa disposisi warisan nenek moyang tersebut kian luntur di terpa arus globalisasi yang kian membahana. Padahal, secara realita kata-kata nenek moyang kita sering kali aktual, tajam dan terpercaya jika di jadikan refrensi. Bisa juga diyakini, bahwa ke afsahanya tidak kalah dengan mutiara kata dari para ilmuan barat.
Seperti contoh “Mikul Dhuwur, Mendhem Jero”. Pribahasa tersebut adalah bagian dari filosofi jawa yang berkaitan tentang nasihat kepada anak untuk memperlakukan orang yang lebih tua secara baik. Hal ini biasa di sebut juga dengan andhap ashor yang kaitanya juga relevan dengan Akhlakul Karimah. Dalam agama islam, --utamanya masyarakat jawa-- pelajaran tentang budi pekerti tentu menjadi hal yang harus ditekankan. Bahkan muncul sebuah makalah bahwa orang yang tidak memiliki adab di ibaratkan seperti lalat. Jika terapkan dalam konteks arab yakni :
Mikhul dhuwur berarti ‘menjunjung tinggi’ sebagai lambang penghargaan kepada orang tua yang dihormati atau di tuakan karena telah berjasa banyak dalam kehidupan. Sedangkan Mendhem Jero berarti menanam dalam-dalam penghormatan kepada orang yang dihormati sebagai modal bahwasanya kelak perbuatan kita akan dibalas, merujuk kepada makalah yang di jelaskan bahwasanya “Barang siapa yan melayani, maka dia akan dilayani” maka bersiaplah untuk Mikul Dhuwur, Mendhem Jero sejak dini.
Pentasrifan kata ‘anak’ disini bisa bersifat simbolik, yakni anak keturunan, generasi muda atau seorang bawahan. Sedangkan kata orang yang lebih tua dapat dimaknai sebagai orang tua dalam hubungan keluarga, orang yang lebih tua, pemimpin atau bahkan kepada ulama’ atau wali Allah. Oleh karenanya, generasi muda berkewajiban mikhul dhuwur mendhem jero dengan harapan kelak martabat dan identitas bangsa kita sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Tanpa kita sadari, terkadang sesuatu yang kecil adalah syarat untuk menjadi besar. Maka sirit tersebut merupakan fondasi untuk membangun nilai-nilai yang harus di perjuangkan sekaligus menjadi karakter dalam membangun kebesaran dan kehormatan bangsa Indonesia. Dengan beragam rujukan mutiara kata nenek moyang kita, pelajari lebih dalam dan yakinlah bahwa kita pasti bisa.
=================================================
*) Penulis Adalah Pelancong Makna Gandul di Kecamatan Kota Kudus.
=================================================
Selasa, 16 Agustus 2011
GAGASAN :)
MUDIK KEPADA KAKEK-NENEK
Ironis sekali, mendengar anak-anak kecil menyanyikan lagu cinta, terlebih ketika mendengar anak usia TK sudah menginjak ‘dewasa’ sebelum waktunya. Pertanyaannya, jika memang disekolah sudah diajari menyanyi atau setidaknya tata karma sudah diajarkan sesuai dengan tatanan usia, mengapa tidak ada bentuk realisasi yang nyata? Nah, dengan ikon Ramadhan ini, Mudik pastilah jadi ajang perkumpulan yang pas untuk mendidik dan meluruskan polah putra bangsa. Melalui kakek, nenek. Yah, nampaknya hal itu bias jadi resep yang paling manjur (*)
Bondan Fahmi,
Senin, 08 Agustus 2011
Cerpen
Add caption |
Cerpen Syarifuddin Fahmi ‘ainur ibrahim’ *)
*) Penulis berasal dari Surabaya, Lahir di Semarang, Beralamat di Demak dan berdomisili di zf_policeline@ymail.com
Fahri begitu terhina. Fahri layak mendapat rajam! -dilempari bebatuan hingga wajahnya memar-. Bukan tidak mungkin jika Fahri dipertontonkan di alun-alun kota Kediri karena tingkah bodohnya meniduri Layla, putra sulung kyai Asnawi Hamid. Sayang, Indonesia bukan negara Islam! Bukan satu kesalahan jika kejadian semacam ini terjadi berulang-ulang. “Segala kejadian harus diselesaikan melalui ranah hukum, meski hukum di negara ini begitu munafik!” Jelas kyai Hamid geram menyadari perihal ini.
Kalau bisa di ingat; Pagi itu tulang-tulang muda Fahri seperti dipukuli sebongkah kayu. Matanya sayup-sayup memandangi layar dua puluh inci itu. Memang, Kerjaan Fahri masih menumpuk. Proposal, macam-macam kepanitiaan dan berbagai macam program kerja belum terselesaikan dengan tuntas. Fahri telah kepalang janji dengan Pak Bambang. Tak mau ia mengecewakan orang yang selalu berdecak kagum dengan hasil tugas Fahri. Selain karena sepanjang sejarah, baru kali ini anak konglomerat menjabat sebagai ketua osis. Jarang-jarang, karena organisasi terlalu identik dengan kaum menengah kebawah.
Menit selanjutnya, Fahri segera bergegas membuka pintu rumah setelah mendengar beberapa kali suara ketukan. Suasana tegang berlanjut ketika tamu yang biasa disapa Layla itu masuk mendebarkan hati Fahri yang baru saja sadar akan mimpi manisnya. Sayogyanya, Layla hanya mengantar roti kering saja. namun karena lengkuk tubuh Layla yang begitu gamblang di indera Fahri, akhirnya Fahri pun tak segan-segan memboyong Layla ke kamar. Tanpa perlawanan! Hmm… mungkin Layla juga tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas bersama perjaka paling tampan di sekolah tingkat menengah atasnya itu.
Kiamat! Ayah Fahri datang dengan kemunduran instansi perusahaan tebunya. Jelas Ayah sedang sangat begitu kecewa. Ditambah lagi dengan tingkah laku sulung yang membuatnya kian kebakaran jenggot, sontak saja ayah langsung melancarkan berbagai pukulan ke tubuh Fahri. Orang tua mana yang tahan melihat anaknya melakukan dosa!
***
Detik-detik menjelma dari hari ke hari. Berbagai macam amarah menyelubung di palung kyai Hamid. Tentu saja kyai Hamid tak rela dengan hilangnya keprawanan anak sulungnya itu. Apalagi sosok kyai Hamid begitu dituakan di kota Kediri. Sungguh tak bisa di ungkapkan dengan kata-kata.
Fahri harus bertanggung jawab atas segala perbuatannya! Fahri tak boleh lari dari tanggungjawab! Meski jabatannya sebagai ketua osis kini telah jatuh. Fahri juga tak bisa lagi berseragam putih abu-abu. Fahri hanya dapat berkaca-kaca penyesalan memandangi piala hasil prestasinya dilemari kantor BK. Kini Fahri harus bergizi tinggi mencerna beribu-ribu cemooh dari rekan-rekan seperjuangannya.
Lebih dari dua pekan kejadian itu berjalan. Gosip miring yang biasa disuarakan para tetangga kini mulai dingin. Untung, Dr. Husna Munaya itu masih belum mengubah isu kehamilan Layla menjadi positif. Mungkin Layla belum saatnya mengandung di usianya yang masih dibilang belia. Meski secara biologis Layla sudah bisa berkepala dua.
Sekarang Fahri hanya bisa duduk rapi di rumah. Namun sungguh Fahri tak tahan dengan keadaan seperti ini karena Fahri tak punya jiwa-jiwa pengangguran! Fahri ingin sekali melajukan dirinya ke sebuah Pesantren di Jawa Tengah. Fahri berjanji akan tetap meminang Layla dikemudian hari. Fahri juga sadar bahwa kyai Hamid mempunyai pesantren yang cukup besar di kota Kediri. Mungkin inilah tantangan! Setidaknya Fahri harus mengerti apa itu syarat dan rukun untuk ditularkan pada sebagian santri. Cukup! ketika kyai Hamid mengiyakan hasrat mulia si bejat Fahri.
***
DI PESANTREN
Kota ini disebut; Kota Santri. Selain itu, dikota kecil ini juga dapat dijumpai berbagai macam bentuk peci, Mulai dari ujung barat sampai ujung timur bermacam khalayak ada di kota ini. Terlihat akrab, tanpa mengenal ras ataupun suku. Hebat! Mengapa kota lain di Indonesia tidak berkaca pada kota kecil ini? Dimana sekarang ras ataupun suku menjadi sebuah perbedaan dan perdebatan! Berbeda warna saja sudah berani mengahiri nyawa. “huh...” Ironis.
Sekarang Fahri sudah bisa melipat pakaiannya di Pesantren Darussalam. Fahri selalu patuh dan taat pada nasihat Kyai Saiful Ridlwan, pengasuh pesantrennya sekarang. Untung, kyai Saiful adalah sosok pemerhati para santrinya. Sehingga Fahri diangkat menjadi pengurus ndalem. Terlalu cepat memang, namun itu lebih baik daripada Fahri harus menahan kucilan dan cemohan para santri akibat khilafnya. Memang begitu kejam! namun beginilah konsekuensi.
Lambat laun kyai Saiful mulai akrab dengan Fahri. Bagaimana tidak? Riwayat hidup Fahri dari kecil saja sudah banyak diketahui oleh kyai Saiful. Tergolong beruntung bagi santri baru seperti Fahri Firdausillah, karena kyai Saiful juga mampu menjadi guru kehidupan baginya. Bukan kyai yang hanya menebar prioritas! Atau berdakwah saja demi rupiah! Fahri semakin yakin jika Pesantren bukanlah sarang teroris seperti yang tercetak tebal di beberapa media. “Justru Pesantren-lah tempat rehabilitasi bagi para teroris ulung macam mereka”
***
“kamu benar-benar ingin bertaubat kang?”
“inggih yai, sak-estu”
“kalau begitu ndang giat mengikuti pengajianku ya kang”
“inggih yai”
Prakata kiai Saiful kali pertama itu masih terniang jelas dikepala Fahri. Makanya, Fahri tak boleh melihat lelaki paruh baya itu kecewa. Fahri harus selalu datang lebih awal di tiap-tiap pengajian beliau. baik bandongan ataupun sorogan. Tekad Fahri untuk bertaubat sudah bulat! Fahri tak boleh goyah karena nafsu! Cukup sekali itu Fahri menjadi bulan-bulanan hasrat nafsu duniawinya.
Tepat ketika mega merah sudah mulai menampakkan dirinya. Pertanda bahwa adzan magrib sudah layak untuk dikumandangkan. Fahri pun tak segan-segan mengambil air wudlu dan sesegera mungkin bercakap-cakap padaNya. Lanjut ketika Fahri mengecapkan salam dan mengangkat kedua tangan. Ia munajatkan segala siratan hasrat dalam hatinya. Sebelum Fahri harus sesegera mungkin menutup doanya dengan bacaan ‘Amien’ karena kyai Saiful telah datang. Ribuan Santri juga sudah memadati masjid Al-Aqsha, untuk sekedar mengais ilmu dari sosok kyai rujukan warga kota kretek itu;
“Wahai saudaraku sekalian, Jangan sekalipun kalian mendekati zina ! sungguh, zina akan membawa kita kepada nerakaNya… memang, tiga godaan terbesar lelaki ada pada wanita, selain harta dan tahta. Kita sebagai umat muslim harus berjihad melawan hawa nafsu kita! Jihad tidak harus dengan pengeboman atau peperangan! Ketahuilah bahwa musuh terbesar manusia adalah hawa nafsu! Tidakkah engkau takut Akan neraka Waill yang telah Allah persiapkan jika engkau menyia-nyiakan shalat, menuruti hawa nafsu, atau takut jika duniamu meninggalkanmu daripada Firdaus-Nya yang kekal…?!”
Nasihat kyai Saiful begitu membahana, tercamkan erat di benak hadlirin pengajian rutin ba’da magrib ini. Termasuk Fahri, ia sering kali merasa tersinggung di tiap pengajian kyai Saiful. Terkadang Fahri juga tak malu meneteskan air matanya. Apalagi jika membicarakan tentang ibadah sholat. Memang, Fahri jarang melaksanakan ibadah sholat karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya didepan layar laptop, sekedar menyelesaikan bermacam tugas kepemimpinan, kesetiaan atau bermacam permohonan untuk organisasinya. Fahri terlalu mendewakan tugas Organisasi. Sayogyanya, sesibuk apapun tugas di organisasi itu masih penting dengan lima waktu yang menjadi kewajibannya. Fahri sadar bahwa dirinya telah salah! Maka dari itu Fahri senantiasa mengkalamkan istighfar padaNya, wujud pertaubatan pada Dzat yang maha pengasih lagi maha penyayang itu.
Sekarang Fahri sudah mulai sadar, Fahri harus malu pada kedua malaikat di kanan kirinya. Fahri harus malu karena perbuatan yang pertama kali di hisab di hari kiamat adalah shalat. Sekarang Fahri tahu bahwa darah orang yang dengan sengaja meninggalkan sholat adalah halal! Maka Fahri harus mengabarkan berita ini pada rekan-rekannya yang membutuhkan, dan kepada mereka; yang masih begitu awam akan perintah-perintah Islam.
***
Lebih dari tujuh tahun sudah Fahri mengabdikan dirinya di ndalem. Sungguh jumuah pagi yang cerah ketika kyai Saiful mengiyakan hasrat Fahri untuk pulang ke kegubug Ayah dan Ibunya ke kota Kediri. Karena kata kyai Saiful; Fahri sudah cukup mengerti dan mendalami apa itu syarat dan rukun. Fahri juga sudah cukup usia untuk meminang Layla. Hawa yang mau tak mau harus menjadi istri bagi si pendiam Fahri Firdausillah itu.
“cukup nak, sekarang pulanglah dan pinang Layla untuk masa depanmu” dawuh kyai Saiful melepas Santri kesayangannya.
***
Fahri datang kembali di kota Kediri. Kota yang mulai berevolusi. Tak seperti biasanya, kota ini nampak layu, para santriwan-santriwati juga sudah mulai kehilangan jati dirinya. Entah dikemanakan peci dan jilbab putih mereka? Fahri jadi makin kebingungan sendiri memahami perihal ini. Mungkin karena kemajuan zamanlah penyebabnya! Budaya barat sudah mengobok-obok naluri keislamiyahan kota kelahirannya. Tak rela! Fahri harus bisa mengembalikan adab pemuda-pemudi Kediri! Bahkan menyebar ke kota-kota tetangga. Wajib! Tidak bisa tidak!
Sebulan lagi pesta pernikahan Fahri dan Layla dihelat. Ribuan undangan telah tersebar di berbagai kota. Hari bahagia itu tinggal menghitung hari. Namun tidak! Kenyataan berkata lain, kematian terlebih dahulu merenggut nyawa Layla akibat kecelakaan kereta api di perbatasan Nganjuk. Ketika Layla dan Fahri hendak memprogram baju pernikahan mereka di kota Madiun. Untung nyawa Fahri masih dapat terselamatkan. Meskipun tidak bagi Layla, calon pendamping hidupnya itu. Layla harus sesegera mungkin dikebumikan di samping maqbaroh Abahnya, kyai Asnawi Hamid al-Manshur.
Fahri begitu terpukul atas kejadian itu. Kelopak mata Fahri juga mulai menghitam. Air matanya tak kunjung reda. Namun Fahri sadar, ia bukan anak kecil lagi! Fahri harus secepat mungkin bangkit dari puing fase kesedihannya. Fahri harus tetap menikah di tanggal dan bulan yang sama, seperti yang diharapkan keluarga mempelai wanita. Meski tidak dengan Layla Asna. Melainkan dengan Nayla Asna, Putri ketiga dari mendiang kyai Asnawi Hamid. Benar! Qodlo' dan Qodar tak pernah bohong! Jika tanggal dan bulan pernikahan sudah ditentukan olehNya, maka tak ada yang bisa mengubah atau menggantikannya! Begitupun selainnya. Tidak sempurna iman kita jika kita tidak mengamini perihal ini.
Kini Fahri sudah harus bertanggung jawab dengan para santri mendiang kyai Hamid. Pengalamannya di pesantren Darussalam tak pernah ia lupakan. Fahri harus bisa mendidik para santrinya seperti kyai Saiful Ridlwan mendidiknya. Bukan sekedar prioritas! Atau karena nafsu duniawi, harta dan tahta! Fahri harus bisa mewujudkan cita-citanya memperbaiki budi pekerti para muda-mudi yang kini kian menjadi-jadi! Fahri harus bisa mengembalikan aset-aset islami ke kota kelahirannya, juga pada tanah airnya.
Setelah Fahri berhasil memajukan Pesantren “Al-Hikmah” peninggalan kyai Asnawi Hamid. Setelah Fahri percaya bahwa tuhan mengabulkan doanya untuk masih tetap berada dijalanNya. Maka tidak ada keraguan jika kita mau bertaubat dijalanNya. Tentunya taubat yang sungguh-sungguh. Dan aku menyebutnya Taubat An-Nasuha.
Kini, diawali dengan bacaan Basmillah, kyai Fahri Firdausillah harus bisa memperbaiki gejolak moral muda-mudi di tanah kelahirannya.
Kediri, 24 April 2011 M
Diselesaikan Dengan Beribu ‘nikmat’ Dan ‘penyesalan’
=====================================================
BIODATA PENULIS
Syarifuddin Fahmi, Lahir di Demak, 25 Desember 1994 M. Peraih Best of 3rd “FiKSI” Cipta Cerpen se eks Karesidenan Pati pekan Dies Natalis STAIN Kudus. Menyelesaikan “Dosa Terkemuka” nya di Stasiun Kediri, bertepatan ketika Persija Tour Malang bersama rekan Jak Mania. Dan selalu ingin selamanya menjadi pegiat sastra.
=====================================================
*Karya ini di muat di Majalah Tahunan "Ath-Thullab Edisi 15 Madrasah NU TBS, persebaranya kini mecapai tingkat nasional. Namun sayangnya, apa yang tercetak di majalah tersebut berubah dari karya ini.
Semoga Allah senantiasa memberi saya petunjuk :)
CERPEN
FiKSI®
Cerpen Syarifuddin Fahmi ‘ainur ibrahim’ *(
SISWA KELAS 10 B MA NU TASWIQUT THULLAB SALAFIYYAH (TBS) KUDUS
*( Pegiat Sastra Al-Irsyad Jagalan 62 Kudus. Beralamat di zf_policeline@ymail.com
®JUARA III CIPTA CERPEN SE-EKS KARESIDENAN PATI ‘DIES NATALIS XIV STAIN KUDUS 1432 H’
Hari ini, cuaca kota kretek tak begitu panas seperti biasanya. Lemas lungai udara membalut tubuh Saiful. Penimba ilmu disebuah petak yang biasa disebut ‘Penjara Suci’. Ya, ditempat yang penuh keterbatasan itulah Saiful ditahan serta dituntut untuk menganak pinakkan ilmunya, juga untuk mandiri menghadapi masa depannya. Tidak! ketika pesantren begitu munafik untuk kehidupan Saiful yang syarat akan kemewahan. Memang, sedikit gambaran fatamorgana ada di pelipisnya. Mungkin karena Saiful harus mengiyakan keinginan Abah untuk melajukan dirinya ke pesantren silam. Tak ada jalan lain. Wajib!
Saiful Abdillah namanya. Kulit Sawo matang itu sempat brutal. Namun Toh kenyataannya Saiful mampu bertahan lebih dari dua puluh empat bulan. Sudah! Setelah Saiful mengenyam pendidikan di pesantren yang mengglegarkan Saiful dengan sapaan Santri.
***
Hari ini Saiful bangun lebih awal. Tak seperti biasanya. Mungkin karena kelas XI IPA 1 nya akan dipergunakan untuk ujian semester kakak kelas lusa. Menggelorakan amarah Saiful untuk sesegera mungkin mengemas beberapa helai pakaiannya. Meski belum genap satu bulan Saiful berdomisili seperti yang tertera pada peraturan pesantren, namun kehendak Saiful sudah bulat untuk segera bergegas meninggalkan tempat yang penuh dengan bacaan ayat alqur'an pagi itu. Secepat mungkin. Sebelum lurah pondok mempergokinya. Sebelum kiamat semua hasratnya. Kuat argumennya bahwa pulang lebih baik daripada harus membrewoki kitab kuningnya. Saiful sudah muak dengan lesung pucat di peci putihnya. Cukup! ketika angkutan ungu menurunkan debar jantung Saiful di terminal kota. Tertinggallah sudah penjara suci dari benaknya. Sekarang Saiful si santri buki itu dapat berleha-leha meninggalkan kota yang sejatinya penuh oleh taburan beribu benih harapan dari Abah dan Umi. Tentunya pada satu kota kecil yang telah membesarkan banyak ulama besar. 'Kudus'.
Saiful bingung lontang-lantung ketika tak mendapati dompet abu-abu di saku kiri celananya. Remaja gaul itu makin shock ketika sadar bahwa MP4 Player kesayangannya telah berpidah tangan. Bukan karena lalai atau lupa menaruh MP4 playernya. Yang jelas Saiful begitu ceroboh membiarkan MP4 Playernya tetap hidup ketika terlelap. Penumpang bus jurusan Tegal di sekeliling bangku Saiful tak punya jawaban lain selain menggelengkan kepala, menandakan penumpang yang budiman itu tak tahu menahu tentang MP4 keemasan Saiful yang telah raib. “Huh...”
“Itu sudah biasa terjadi dik, adik saja yang tidak hati-hati” pak kondektur menimpal.
Bus masih tetap melaju. Semarang-Kendal-Pemalang Saiful lewati dengan harap-harap cemas. Entah Saiful harus menjawab apa ketika sampai di Tegal nanti. Jadi bingung lontang-lantung Saiful meracik majas jika membubuhi pertanyaan Abah nanti. Tak mungkin Saiful menimpalkan pada bangku-bangku kosong pada bus yang mulai bersih dari asap lintingan kretek itu.
***
Tepat ketika matahari hendak bersembunyi dibalik awan sore. Tepat ketika hentakkan adzan telah berlalu dengan iqomah si muadzin. Pemuda abad 21 itu mulai turun mengikuti satu-dua-tiga penumpang sebelumnya. Saiful berlalu, tanpa mengambil air wudlu dan sesegera mungkin menjalankan perintahNya. Saiful hiraukan saja lima waktu yang sudah menjadi kewajiban bagi muslim sepertinya. Lupa sudah ia akan jahannamNya. Mungkin setan telah benar-benar kencing di telinganya.
Seperti kata Abdullah Bin Mas’ud. Ada seorang pria mengisahkan kepada Rosulullah, tentang seorang yang tetap tidur dari malam hingga pagi. Rosulullah pun menanggapinya bahwa setan telah kencing di telinganya. Lebih parah! Karena saiful bukan pada posisi tertidur.
Dinding musholla yang bertuliskan “Tidakkkah engkau takut akan neraka Waill yang telah Allah persiapkan, jika engkau menyia-nyiakan shalat, menuruti hawa nafsu, ataukah takut jika duniamu meniggalkanmu dari pada Firdaus-Nya yang kekal......” tak menghipnotis Saiful sekalipun. “masa bodoh..” Langsung saja Saiful masuk ke sebuah angkutan kuning dan menyalakan api pada lintingan kretek, kemudian menjulurkannya ke mulut tipis Saiful. “hmm...”
Kembali lagi Saiful menapakkan kaki di kampung halaman. Setelah Saiful ulurkan beberapa lembar ribuan kepada kernet angkot. Kali kedua dalam sebulan terakhir. Ironis, Satu-dua wanita paruh baya mulai menanyakan kepulangannya. Namun Saiful hanya menjawab dengan senyuman kecut andalannya. Tak jauh beda seperti pada kali pertama. Tak pernah terlintas dalam benak Saiful tentang kesayogyaan yang selayaknya tidak dilakukan seorang santri. Oblong biru dan jeans pensil yang Saiful kenakan semakin membubuhi buah bibir para tetangga. Lupa sudah ia akan pecinya. Entahlah, Abah dan Umi pasti mengurut dada kali menyaksikan kenylenehan anaknya.
Belum sampai Saiful menggantungkan oblong birunya. Abah masuk ke kamar Saiful dengan tensi kemarahan yang kian merambah keubun-ubun. Meluap, dan turun deras ke punggung belakang Saiful. Tentunya melalui tangan seorang Petani yang makin merenta itu. Saiful linglung,
“apa yang sebenarnya terjadi; Kulo salah nopo???”
Satu angka Saiful menang ketika Abah menyudahi pukulannya. Tapi, angka kedua dan selanjutnya ada ditangan Abah. Berangkat dari diulurkannya sepucuk surat dengan kop berlafadz arab. Bukan surat hak milik ladang. Bukan pula surat dari notaris PPAT. Tak ada tanya. Saiful sudah mafhum bahwa itu adalah surat khas pesantren Darul Hikam tempat Saiful menimba ilmu. Lebih dari satu! Saiful tak menyangka pihak pesantren telah sebanyak itu melayangkan surat untuk Abah dan Umi. Tujuh lembar! Isinya tak jauh lebih parah dari beberapa pelanggaran Saiful di pesantern.
“opo seperti itu kelakuanmu nang!? cukup! Abah muak dengan semua surat ini…!”
Tak ada lagi iba yang menjulur dari raut wajah Abah sore itu. Hanya kecewa. Rasanya tak sebanding dengan apa yang telah Abah hibahkan untuk anak sulungnya itu. Umi juga tak sekali-dua kali mengurut dada. Tak tahan lagi wanita paruh baya itu menahan Abah agar menyudahi amarahnya. Sementara Saiful hanya menangis tertahan.
Saiful tak berkutik lihat ditekukkan oleh berbagai macam khilafnya; Tak sekalipun ia hadlir ke sekolah, apalagi berdomisili dipondok. Uang bulanan yang biasa diperuntukkan untuk pelunasan i’anah Syahriyah tak pernah sampai pada kassa keuangan. Berbagai macam tagihan sering Saiful umpat agar Abah tak tahu menahu perihal itu. Yang Saiful fikirkan hanyalah bersenang-senang. Menghamburkan uang demi kesenangan semata. Gonta-ganti MP4 Player, Ponsel dan Elektronika sesuka hatinya. Tanpa memperdulikan nasib Abah dan Umi yang mati-matian membanting tulang untuknya. Entah betapa teriris hati Abah dan Umi petang itu. Sulung yang sayogyanya menjadi contoh khasanah malah berbalik menjadi racun yang signifikan meracuni kedua adiknya.
Lanjut ketika alunan adzan magrib berkumandang. Saiful taburkan berbagai benih penyesalan dalam panjatan doa. Sepenuh hati Saiful bergegas dari lubang keterpurukan selama ini. Saiful cium tangan Abah dan Umi wujud taubat sejati seorang lelaki. Wangi, mengusir berbagai macam kemunafikan yang senantiasa menempel pada dinding hatinya.
“Sudah, nanti kwe hadir nang pengajian kyai Musthofa pemalang bar Isya’ nanti di langgar. Dengar dan camkan apa yang jadi tausyiah beliau...”
Saiful hanya menganggukan kepala. Saiful tersedu menahan tangisnya.
***
Adzan Isya mengalun begitu indah meriangkan jiwa Saiful yang terang akan hidayahNya. Hentakan iqomah seakan mengomando Saiful untuk merapatkan barisan dan sesegera mungkin bercakap denganNya. Sampai ketika Saiful menelunjukan jari telunjuknya dan mengecapkan salam. “Assalamu’alaikum warahmatullah”
Saiful duduk bersila disamping ratusan hadlirin pengajian kamis kliwon masjid Nurut Taqwa. Semua khidmat pada mauidloh kyai Musthofa. Seorang kyai masyhur Rujukan warga Tegal dan Pemalang. Saiful kenal betul dengan beliau. Apalagi putri semata wayangnya. ‘Ilma Zidna Walyatalattavic’ Satu-satunya hawa yang berhasil memikat hatinya di batsul masail akbar tingkat kabupaten Pemalang pertengahan Februari silam. Saiful tak ragu untuk berhasrat dapat bersanding dengan putri kyai favorit Abah itu.
“hadlirin rohimakumullah, rodliya ankum! baraka lakum...!
Wahai saudaraku seiman! Apa kalian tidak ingat bahwa kelak akan ada hari yang lebih panas dan gawat dari hari ini...
Kenapa kita selalu saja berkeluh kesah untuk sekedar bercakap padaNya...
Apalagi untuk tidak hadir dalam dirosah...!
Tidakkah kesemua perkara yang kita lakukan karenaNya akan mendekatkan kita pada Surga...!
Tempat dimana kita akan hidup kekal abadi... Selamanya...! Selama-lamanya...!
Apa kalian lupa dengan hari ketika manusia digiring menuju padang Mahsyar? dengan matahari yang hanya satu jengkal di atas ubun-ubun kepala kita...
Kalau tidak ingat, bahwa keberadaan kalian untuk belajar adalah amanat! Dan amanat kelak akan dipertanggungjawabkan dengan pasti...!
Apalagi jika kalian sadar bahwasanya Ayah dan Ibu kalian mempertaruhkan petak sawah warisan moyang untuk keberhasilan kalian...!
Lupakah kalian ketika kalian ketika dilepas dengan linangan airmata dan selaksa doa dari ibu, ayah, dan sanak saudara...!
Maka ketahuilah bahwa tidak semua orang diberi nikmat belajar dibumi para nabi ini.
Camkan! bahwa masa muda yang sedang kalian jalani ini akan dipertanyakan kelak...!
Ceramah kyai Musthofa kian membahana, sementara Saiful semakin menunduk, air bening dari matanya terus mengalir, semakin deras. Sementara bayang-bayang tentang amarah duniawi tak mampu ia tangkis. Kepalanya dikelilingi bermacam asumsi yang mengalah dan membenarkannya;
'Ayolah! Jangan dengarkan semua omong kosong ini wahai Saiful!'
'cukuplah engkau dengan nafsu duniamu!'
Rasanya Saiful ingin memecah kepalanya menjadi dua. Hingga usai sudah kedua pertanyaan yang mendewasakan akal sehat Saiful malam itu.
Belum sampai mauidloh kyai Musthofa ditutup dengan doa, lelaki tinggi muda berparas arab berkata lirih pada indera Saiful;
“Nak, Stroke Abah kambuh, sebaiknya kamu cepat pulang”
Suasana berbalik hening ketika Saiful tiba dengan nafasnya yang ngos-ngosan. Setelah Saiful tersentak dan menapakkan langkah seribunya. Setelah Saiful terburu-buru untuk sampai pada suasana ini; ketika Pak dhe Ali menggosokkan siwak ke mulut Abah. Saiful faham betul mengapa kesunahan itu dilakukan. Umi dan kedua adiknya menangis. Lanjut ketika Pak dhe Ali mengucapkan kalam tarji’.
“Inna Lillahi Waa Inna Ilaihi Roji’un”
Saiful makin tak kuasa membendung airmatnya. Bagaimana mungkin Saiful lalui hari kedepan tanpa tulang punggung keluarga. Tak mungkin wanita paruh baya yang sesegera mungkin akan dipanggil janda itu akan sendirian menghidupi ketiga anaknya. Tak mungkin pula jika Saiful Nayla dan Balya harus turun kejalan untuk menadahkan kaleng dan menggetarkan senar gitar. Mustahil!
***
Sekarang Abah sudah tenang dialam fana. Linangan air mata yang kian membatu memukuli kepedihan hati Saiful. Janda beranak tiga itu juga mulai bangkit dan mahir melanjutkan kinerja Abah. Saiful harus sadar bahwa air matanya disaksikan Nayla dan Balya. Umy selalu berpesan ‘untuk jadi anak yang baik dan sholih, Abah pasti bahagia melihat anaknya sukses’. Mutiara kata pengayom beribu penyesalan yang tertuang dalam hati Saiful kala mengenang khilafnya. Mengapa Saiful baru sadar ketika sudah tak bisa lagi bernaung dalam nasihat Abah. Mengapa??? Apakah ini satu dari sikap kemanusiawiahan?
Sudah! Saiful juga harus bangkit. Saiful harus memenuhi keinginan Abah yang sudah berjuang keras mengais rupiah untuknya. Saiful harus menjadi tauladan bagi Nayla dan Balya. Saiful harus menggantikan fase kepedihan ini dengan senyuman untuk perempuan yang mau tak mau harus menjadi kepala keluarga itu.
Sesudah Saiful kembai ke pesantren dengan linangan airmata. Sesudah Saiful mendapat ta’zir dari lurah dan keamanan pondok. Sesudah Saiful giat menjalani kehidupan sebagai seorang Santri. Sesudah namanya selalu disebutkan sebagai juara satu, dua atau ketiga dari berbagai macam lomba. Sesudah Saiful mendapatkan beasiswa ke Al-Azhar University Cairo seperti yang diharapkan Abah.
Setelah Saiful berhasil mendapatkan plakat penghargaan santri terbaik dan bergelar Lc, Setelah saiful menjadi menantu Kyai Musthofa kiblatan Abah dan masyarakat Tegal Pemalang, dengan sekaligus meminang ‘Ilma Zidna Walyatalattavic’ hawa pertamanya. Setelah Saiful menjadi juragan pertanian dan berhasil membuang jauh-jauh nama janda beranak tiga itu menjadi Hj, Mufidah Asyiah. Dan semua ini Saiful Hadiahkan untuk mendiang Abah. Almarhum Ainur Rofiq Ibrahim.
Diselesaikan di 'bilik' kecil yang semoga bisa membesarkan nama-nama penghuninya. Amien
Pemalang,'Al-Hikmah' 25 Rabiul Ahir 1431 H
31 Maret 2011 M
============================================
Kekurangan Cerpen ini adalah pada Judul dan Flashback, keunggulan lebih nampak pada konflik dan diksi (MM. Boernomo, Widi Muryono; Juri Lomba Cerpen Dies Natalis STAIN Kudus ketika itu). Beberapa hadiah lomba saya gunakan untuk menyaksikan atmosfir dunia barat di Paragon.
============================================
Cerpen Syarifuddin Fahmi ‘ainur ibrahim’ *(
SISWA KELAS 10 B MA NU TASWIQUT THULLAB SALAFIYYAH (TBS) KUDUS
*( Pegiat Sastra Al-Irsyad Jagalan 62 Kudus. Beralamat di zf_policeline@ymail.com
®JUARA III CIPTA CERPEN SE-EKS KARESIDENAN PATI ‘DIES NATALIS XIV STAIN KUDUS 1432 H’
Hari ini, cuaca kota kretek tak begitu panas seperti biasanya. Lemas lungai udara membalut tubuh Saiful. Penimba ilmu disebuah petak yang biasa disebut ‘Penjara Suci’. Ya, ditempat yang penuh keterbatasan itulah Saiful ditahan serta dituntut untuk menganak pinakkan ilmunya, juga untuk mandiri menghadapi masa depannya. Tidak! ketika pesantren begitu munafik untuk kehidupan Saiful yang syarat akan kemewahan. Memang, sedikit gambaran fatamorgana ada di pelipisnya. Mungkin karena Saiful harus mengiyakan keinginan Abah untuk melajukan dirinya ke pesantren silam. Tak ada jalan lain. Wajib!
Saiful Abdillah namanya. Kulit Sawo matang itu sempat brutal. Namun Toh kenyataannya Saiful mampu bertahan lebih dari dua puluh empat bulan. Sudah! Setelah Saiful mengenyam pendidikan di pesantren yang mengglegarkan Saiful dengan sapaan Santri.
***
Hari ini Saiful bangun lebih awal. Tak seperti biasanya. Mungkin karena kelas XI IPA 1 nya akan dipergunakan untuk ujian semester kakak kelas lusa. Menggelorakan amarah Saiful untuk sesegera mungkin mengemas beberapa helai pakaiannya. Meski belum genap satu bulan Saiful berdomisili seperti yang tertera pada peraturan pesantren, namun kehendak Saiful sudah bulat untuk segera bergegas meninggalkan tempat yang penuh dengan bacaan ayat alqur'an pagi itu. Secepat mungkin. Sebelum lurah pondok mempergokinya. Sebelum kiamat semua hasratnya. Kuat argumennya bahwa pulang lebih baik daripada harus membrewoki kitab kuningnya. Saiful sudah muak dengan lesung pucat di peci putihnya. Cukup! ketika angkutan ungu menurunkan debar jantung Saiful di terminal kota. Tertinggallah sudah penjara suci dari benaknya. Sekarang Saiful si santri buki itu dapat berleha-leha meninggalkan kota yang sejatinya penuh oleh taburan beribu benih harapan dari Abah dan Umi. Tentunya pada satu kota kecil yang telah membesarkan banyak ulama besar. 'Kudus'.
Saiful bingung lontang-lantung ketika tak mendapati dompet abu-abu di saku kiri celananya. Remaja gaul itu makin shock ketika sadar bahwa MP4 Player kesayangannya telah berpidah tangan. Bukan karena lalai atau lupa menaruh MP4 playernya. Yang jelas Saiful begitu ceroboh membiarkan MP4 Playernya tetap hidup ketika terlelap. Penumpang bus jurusan Tegal di sekeliling bangku Saiful tak punya jawaban lain selain menggelengkan kepala, menandakan penumpang yang budiman itu tak tahu menahu tentang MP4 keemasan Saiful yang telah raib. “Huh...”
“Itu sudah biasa terjadi dik, adik saja yang tidak hati-hati” pak kondektur menimpal.
Bus masih tetap melaju. Semarang-Kendal-Pemalang Saiful lewati dengan harap-harap cemas. Entah Saiful harus menjawab apa ketika sampai di Tegal nanti. Jadi bingung lontang-lantung Saiful meracik majas jika membubuhi pertanyaan Abah nanti. Tak mungkin Saiful menimpalkan pada bangku-bangku kosong pada bus yang mulai bersih dari asap lintingan kretek itu.
***
Tepat ketika matahari hendak bersembunyi dibalik awan sore. Tepat ketika hentakkan adzan telah berlalu dengan iqomah si muadzin. Pemuda abad 21 itu mulai turun mengikuti satu-dua-tiga penumpang sebelumnya. Saiful berlalu, tanpa mengambil air wudlu dan sesegera mungkin menjalankan perintahNya. Saiful hiraukan saja lima waktu yang sudah menjadi kewajiban bagi muslim sepertinya. Lupa sudah ia akan jahannamNya. Mungkin setan telah benar-benar kencing di telinganya.
Seperti kata Abdullah Bin Mas’ud. Ada seorang pria mengisahkan kepada Rosulullah, tentang seorang yang tetap tidur dari malam hingga pagi. Rosulullah pun menanggapinya bahwa setan telah kencing di telinganya. Lebih parah! Karena saiful bukan pada posisi tertidur.
Dinding musholla yang bertuliskan “Tidakkkah engkau takut akan neraka Waill yang telah Allah persiapkan, jika engkau menyia-nyiakan shalat, menuruti hawa nafsu, ataukah takut jika duniamu meniggalkanmu dari pada Firdaus-Nya yang kekal......” tak menghipnotis Saiful sekalipun. “masa bodoh..” Langsung saja Saiful masuk ke sebuah angkutan kuning dan menyalakan api pada lintingan kretek, kemudian menjulurkannya ke mulut tipis Saiful. “hmm...”
Kembali lagi Saiful menapakkan kaki di kampung halaman. Setelah Saiful ulurkan beberapa lembar ribuan kepada kernet angkot. Kali kedua dalam sebulan terakhir. Ironis, Satu-dua wanita paruh baya mulai menanyakan kepulangannya. Namun Saiful hanya menjawab dengan senyuman kecut andalannya. Tak jauh beda seperti pada kali pertama. Tak pernah terlintas dalam benak Saiful tentang kesayogyaan yang selayaknya tidak dilakukan seorang santri. Oblong biru dan jeans pensil yang Saiful kenakan semakin membubuhi buah bibir para tetangga. Lupa sudah ia akan pecinya. Entahlah, Abah dan Umi pasti mengurut dada kali menyaksikan kenylenehan anaknya.
Belum sampai Saiful menggantungkan oblong birunya. Abah masuk ke kamar Saiful dengan tensi kemarahan yang kian merambah keubun-ubun. Meluap, dan turun deras ke punggung belakang Saiful. Tentunya melalui tangan seorang Petani yang makin merenta itu. Saiful linglung,
“apa yang sebenarnya terjadi; Kulo salah nopo???”
Satu angka Saiful menang ketika Abah menyudahi pukulannya. Tapi, angka kedua dan selanjutnya ada ditangan Abah. Berangkat dari diulurkannya sepucuk surat dengan kop berlafadz arab. Bukan surat hak milik ladang. Bukan pula surat dari notaris PPAT. Tak ada tanya. Saiful sudah mafhum bahwa itu adalah surat khas pesantren Darul Hikam tempat Saiful menimba ilmu. Lebih dari satu! Saiful tak menyangka pihak pesantren telah sebanyak itu melayangkan surat untuk Abah dan Umi. Tujuh lembar! Isinya tak jauh lebih parah dari beberapa pelanggaran Saiful di pesantern.
“opo seperti itu kelakuanmu nang!? cukup! Abah muak dengan semua surat ini…!”
Tak ada lagi iba yang menjulur dari raut wajah Abah sore itu. Hanya kecewa. Rasanya tak sebanding dengan apa yang telah Abah hibahkan untuk anak sulungnya itu. Umi juga tak sekali-dua kali mengurut dada. Tak tahan lagi wanita paruh baya itu menahan Abah agar menyudahi amarahnya. Sementara Saiful hanya menangis tertahan.
Saiful tak berkutik lihat ditekukkan oleh berbagai macam khilafnya; Tak sekalipun ia hadlir ke sekolah, apalagi berdomisili dipondok. Uang bulanan yang biasa diperuntukkan untuk pelunasan i’anah Syahriyah tak pernah sampai pada kassa keuangan. Berbagai macam tagihan sering Saiful umpat agar Abah tak tahu menahu perihal itu. Yang Saiful fikirkan hanyalah bersenang-senang. Menghamburkan uang demi kesenangan semata. Gonta-ganti MP4 Player, Ponsel dan Elektronika sesuka hatinya. Tanpa memperdulikan nasib Abah dan Umi yang mati-matian membanting tulang untuknya. Entah betapa teriris hati Abah dan Umi petang itu. Sulung yang sayogyanya menjadi contoh khasanah malah berbalik menjadi racun yang signifikan meracuni kedua adiknya.
Lanjut ketika alunan adzan magrib berkumandang. Saiful taburkan berbagai benih penyesalan dalam panjatan doa. Sepenuh hati Saiful bergegas dari lubang keterpurukan selama ini. Saiful cium tangan Abah dan Umi wujud taubat sejati seorang lelaki. Wangi, mengusir berbagai macam kemunafikan yang senantiasa menempel pada dinding hatinya.
“Sudah, nanti kwe hadir nang pengajian kyai Musthofa pemalang bar Isya’ nanti di langgar. Dengar dan camkan apa yang jadi tausyiah beliau...”
Saiful hanya menganggukan kepala. Saiful tersedu menahan tangisnya.
***
Adzan Isya mengalun begitu indah meriangkan jiwa Saiful yang terang akan hidayahNya. Hentakan iqomah seakan mengomando Saiful untuk merapatkan barisan dan sesegera mungkin bercakap denganNya. Sampai ketika Saiful menelunjukan jari telunjuknya dan mengecapkan salam. “Assalamu’alaikum warahmatullah”
Saiful duduk bersila disamping ratusan hadlirin pengajian kamis kliwon masjid Nurut Taqwa. Semua khidmat pada mauidloh kyai Musthofa. Seorang kyai masyhur Rujukan warga Tegal dan Pemalang. Saiful kenal betul dengan beliau. Apalagi putri semata wayangnya. ‘Ilma Zidna Walyatalattavic’ Satu-satunya hawa yang berhasil memikat hatinya di batsul masail akbar tingkat kabupaten Pemalang pertengahan Februari silam. Saiful tak ragu untuk berhasrat dapat bersanding dengan putri kyai favorit Abah itu.
“hadlirin rohimakumullah, rodliya ankum! baraka lakum...!
Wahai saudaraku seiman! Apa kalian tidak ingat bahwa kelak akan ada hari yang lebih panas dan gawat dari hari ini...
Kenapa kita selalu saja berkeluh kesah untuk sekedar bercakap padaNya...
Apalagi untuk tidak hadir dalam dirosah...!
Tidakkah kesemua perkara yang kita lakukan karenaNya akan mendekatkan kita pada Surga...!
Tempat dimana kita akan hidup kekal abadi... Selamanya...! Selama-lamanya...!
Apa kalian lupa dengan hari ketika manusia digiring menuju padang Mahsyar? dengan matahari yang hanya satu jengkal di atas ubun-ubun kepala kita...
Kalau tidak ingat, bahwa keberadaan kalian untuk belajar adalah amanat! Dan amanat kelak akan dipertanggungjawabkan dengan pasti...!
Apalagi jika kalian sadar bahwasanya Ayah dan Ibu kalian mempertaruhkan petak sawah warisan moyang untuk keberhasilan kalian...!
Lupakah kalian ketika kalian ketika dilepas dengan linangan airmata dan selaksa doa dari ibu, ayah, dan sanak saudara...!
Maka ketahuilah bahwa tidak semua orang diberi nikmat belajar dibumi para nabi ini.
Camkan! bahwa masa muda yang sedang kalian jalani ini akan dipertanyakan kelak...!
Ceramah kyai Musthofa kian membahana, sementara Saiful semakin menunduk, air bening dari matanya terus mengalir, semakin deras. Sementara bayang-bayang tentang amarah duniawi tak mampu ia tangkis. Kepalanya dikelilingi bermacam asumsi yang mengalah dan membenarkannya;
'Ayolah! Jangan dengarkan semua omong kosong ini wahai Saiful!'
'cukuplah engkau dengan nafsu duniamu!'
Rasanya Saiful ingin memecah kepalanya menjadi dua. Hingga usai sudah kedua pertanyaan yang mendewasakan akal sehat Saiful malam itu.
Belum sampai mauidloh kyai Musthofa ditutup dengan doa, lelaki tinggi muda berparas arab berkata lirih pada indera Saiful;
“Nak, Stroke Abah kambuh, sebaiknya kamu cepat pulang”
Suasana berbalik hening ketika Saiful tiba dengan nafasnya yang ngos-ngosan. Setelah Saiful tersentak dan menapakkan langkah seribunya. Setelah Saiful terburu-buru untuk sampai pada suasana ini; ketika Pak dhe Ali menggosokkan siwak ke mulut Abah. Saiful faham betul mengapa kesunahan itu dilakukan. Umi dan kedua adiknya menangis. Lanjut ketika Pak dhe Ali mengucapkan kalam tarji’.
“Inna Lillahi Waa Inna Ilaihi Roji’un”
Saiful makin tak kuasa membendung airmatnya. Bagaimana mungkin Saiful lalui hari kedepan tanpa tulang punggung keluarga. Tak mungkin wanita paruh baya yang sesegera mungkin akan dipanggil janda itu akan sendirian menghidupi ketiga anaknya. Tak mungkin pula jika Saiful Nayla dan Balya harus turun kejalan untuk menadahkan kaleng dan menggetarkan senar gitar. Mustahil!
***
Sekarang Abah sudah tenang dialam fana. Linangan air mata yang kian membatu memukuli kepedihan hati Saiful. Janda beranak tiga itu juga mulai bangkit dan mahir melanjutkan kinerja Abah. Saiful harus sadar bahwa air matanya disaksikan Nayla dan Balya. Umy selalu berpesan ‘untuk jadi anak yang baik dan sholih, Abah pasti bahagia melihat anaknya sukses’. Mutiara kata pengayom beribu penyesalan yang tertuang dalam hati Saiful kala mengenang khilafnya. Mengapa Saiful baru sadar ketika sudah tak bisa lagi bernaung dalam nasihat Abah. Mengapa??? Apakah ini satu dari sikap kemanusiawiahan?
Sudah! Saiful juga harus bangkit. Saiful harus memenuhi keinginan Abah yang sudah berjuang keras mengais rupiah untuknya. Saiful harus menjadi tauladan bagi Nayla dan Balya. Saiful harus menggantikan fase kepedihan ini dengan senyuman untuk perempuan yang mau tak mau harus menjadi kepala keluarga itu.
Sesudah Saiful kembai ke pesantren dengan linangan airmata. Sesudah Saiful mendapat ta’zir dari lurah dan keamanan pondok. Sesudah Saiful giat menjalani kehidupan sebagai seorang Santri. Sesudah namanya selalu disebutkan sebagai juara satu, dua atau ketiga dari berbagai macam lomba. Sesudah Saiful mendapatkan beasiswa ke Al-Azhar University Cairo seperti yang diharapkan Abah.
Setelah Saiful berhasil mendapatkan plakat penghargaan santri terbaik dan bergelar Lc, Setelah saiful menjadi menantu Kyai Musthofa kiblatan Abah dan masyarakat Tegal Pemalang, dengan sekaligus meminang ‘Ilma Zidna Walyatalattavic’ hawa pertamanya. Setelah Saiful menjadi juragan pertanian dan berhasil membuang jauh-jauh nama janda beranak tiga itu menjadi Hj, Mufidah Asyiah. Dan semua ini Saiful Hadiahkan untuk mendiang Abah. Almarhum Ainur Rofiq Ibrahim.
Diselesaikan di 'bilik' kecil yang semoga bisa membesarkan nama-nama penghuninya. Amien
Pemalang,'Al-Hikmah' 25 Rabiul Ahir 1431 H
31 Maret 2011 M
============================================
Kekurangan Cerpen ini adalah pada Judul dan Flashback, keunggulan lebih nampak pada konflik dan diksi (MM. Boernomo, Widi Muryono; Juri Lomba Cerpen Dies Natalis STAIN Kudus ketika itu). Beberapa hadiah lomba saya gunakan untuk menyaksikan atmosfir dunia barat di Paragon.
============================================
Langganan:
Postingan (Atom)